Minggu, 18 September 2011

PKI dan Konsep Land Reform yang Gagal

Judul
KOMUNISME ALA AIDIT: Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950 - 1965
Penulis
Peter Edman
Penerbit
Center for Information Analysis, 2005




Awal mula munculnya paham komunis di Indonesia ketika berdirinya ISDV (Indische Sosial Democratische Vereeniging atau Perkumpulan Sosial Demokrat Hindia) yang lahir sebelum tahun – tahun pertama abad ke dua puluh dan ditokohi oleh Sneevlit. Dalam perjalanan waktu ISDV kemudian bertansformasi menjadi PKI (Partai  Komunis Indonesia)yang lebih modern pada tahun 1920. Partai ini lebih memilih gerakan bawah tanah (underground) dalam setiap aktivitasnya.
PKI dalam prakteknya menjalankan kebijakan yang bertujuan membawa masyarakat ke dalam situasi yang revolusioner. Namun kebijakan tersebut tidak dapat berlangsung lama  sampai pada masa – masa akhir PKI (1950-1965).
Gerakan PKI yang paling dikenang sejarah adalah peristiwa pemberontakan Madiun (Madiun affair) pada tahun 1948. Dengan tokoh – tokohnya pada waktu itu seperti Aidit, Nyoto, Sudisman dan Lukman yang menduduki kepemimpinan partai, sampai pada akhirnya  partai ini tamat riwayatnya setelah peristiwa Gerakan 30 September.
Kesuksesan PKI bisa dibilang ketika pada masa – masa Dipa Nusantara Aidit menjadi pemimpin. Pengaruh  Aidit berperan besar terhadap arah dari perjalanan partai. Ia berhasil melipatgandakan jumlah anggotanya dan meningkatkan pengaruhnya. Namun disisi lain ia tidak berhasil menjadikan PKI sebuah partai yang mempunyai kekuatan  politik dan layak diperhitungkan.
Sebenarnya sebelum PKI muncul di Indonesia masyarakat tanpa disadari sudah menerapkan kegiatan – kegiatan yang bersifat komunistik. Seperti halnya kegiatan gotong royong di desa – desa. Dalam gotong royong setiap individu dari masyarakat bertanggung jawab dalam pemeliharaan struktur social yang telah ada.
Dalam hal ini keberadaan aliran – aliran dalam masyarakat, telah menghambat keberadaan kelas – kelas social di sepanjang garis – garis pemilah social yang horisontal, dan konsep kepemilikan tanah secara bersama (communal landholding) yang sesngguhnya telah ada sejak sebelum lahirnya feodalisme maupun kapitalistik ternyata dapat bertahan dan masih tetap terpelihara sampai sekarang.
Tetapi system komunis yang diterapkan di Indonesia jauh berbeda dengan konsep aslinya di Eropa, meskipun masih tetap mempertahankan berbagai prinsip dasar Marxisme. Dikarenakan komunisme di Indonesia memiliki banyak perbedaan yang mendasar.
Salah satu perbedaan yang paling mendasar adalah konsep “pembawa angin perubahan” (the bringer of the wind change) bagi orang – orang Asia. “Perubahan akan menjadi ekspresi – ekspresi kemarahan, kekejaman yang melanda kehidupan masyarakat petani, kehidupan pedesaan, keterbelakangan. Dan hal – hal tersebut merupakan landasan dan sekaligus berpotensi untuk melakukan sebuah perubahan yang sangat besar. Sebaliknya Marxisme di Eropa memperlihatkan “sikap ketidaksabaran terhadap tradisi, terhadap sifat – sifat khas kebudayaan, sikap- sikap akomodatif terhadap alam dan keberagaman” dan sebagainya.
Dapat dipahami bahwa Marxisme Asia menyebut masyarakat industri sebagai masyarakat yang penuh dengan pengistimewaan (privilege society) dan politik sangat menguasai perekonomian.“ Faktor penentu utama dalam perubahan adalah rakyat yang dibangkitkan”.  Dengan maksud wilayah pedesaan akan berhasil direvitalisasi dengan cara memanfaatkan bidang teknologi, namun pada saat yang sama juga dilakukan pengendalian secara ketat terhadap teknologi tersebut agar dapat dipergunakan dalam pencapaian tujuan yang bersifat egaliter, parsipatoris dan pembebasan.
Di bawah kepemimpinan Aidit, PKI menjadikan petani sebagai sasaran utama kegiatan partai. Ia berpandangan bahwa apabila mereka dipersekutukan dengan basis partai diperkotaan yakni kaum proletar di seluruh wilayah nasional, maka akan mengakibatkan terjadinya perkembangan baru bagi komunisme di Indonesia dengan sebuah basis yang tak terkalahkan bagi langkah – langkah ekspansi kedepannya.
Di era Demokrasi Terpimpin, gerakan PKI lebih terbuka dan mengambil sikap untuk mendukung konsepsi Presiden Sukarno, karena dengan jalan ini partai akan mendapatkan kesempatan untuk masuk di kabinet dan tidak hanya sebagai partai oposisi. Menurut Aidit konsepsi Sukarno tersebut membutuhkan suatu keseimbangan kekuatan. Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud keseimbangan kekuatan adalah keseimbangan kekuatan antara tuan – tuan tanah, kaum imperalis dan kaum borjuis pada satu sisi dan dengan rakyat pada sisi yang lain.
Jalan yang akan Ia tempuh adalah dengan membangkitkan, memobilisasi, dan mengorganisasi massa, khususnya kaum buruh dan kaum petani. Untuk mengorganisir kaum buruh yang ada di kota mungkin tidak banyak masalah karena mereka sudah sering diorganisir. Namun untuk mengorganisir kaum petani yang ada di desa, ia kesulitan. Ia mengakui bahwa hanya sekitar 7% dari total 90% petani di Indonesia yang berhasil diorganisir. Karena itu ia menawarkan konsep land reform dalam menghadapi para pemilik perusahaan perkebunan, baik orang asing maupun pribumi. Landasan yang digunakan Aidit untuk menjalankan land reform adalah meskipun Indonesia telah mencapai kedaulatan, tetapi masih berstatus setengah terjajah dan setengah feodal.
Feodalisme atau kepemilikan tanah secara perseorangan merupakan permasalahan pokok PKI dalam menjalankan land reform. Karena feodalisme hanya akan menguntungkan para kepala daerah, para pejabat, para kyai Islam dan orang -  orang kaya lainnya. Partai ini berencana menjalankan revolusi agararia, yakni dengan merebut tanah – tanah dari tuan – tuan tanah untuk kemudian dibagikan secara cuma – cuma kepada petani dan dikelola secara kolektif sehingga menjadikan sistem pertanian yang besar.  Kemudian tanah perkebunan dan hutan  dikelola Negara, maka akan tercipta pembangunan masyarakat sosialis.
Gerakan partai ini untuk menghapus feodalime adalah gerakan “turun ke bawah”  yakni menempatkan kader – kader partai turun ke desa guna menjalankan “tiga bersama” yakni tinggal bersam petani, makan bersama petani, dan bekerja bersama petani. Dampaknya terjadi gerakan – gerakan petani seperti yang terjadi di Tanjung Morawa (sumatera), Wates (Kediri), Boyolali dan Klaten (Jawa Tengah) terjadi aksi – aksi yang dilakukan petani untuk melakukan perlawanan terhadap pemilik perkebunan.
Gerakan – gerakan tersebut merupakan kemenangan besar yang dicapai PKI. Pemerintah akhirnya terpaksa mengeluarkan Undang – Undang yang mejadi tuntutan PKI, seperti undang – undang yang menghapus kepemilikan tanah secara pribadi dan perkebunan – perkebunan Belanda berhasil direbut beserta perusahaan – perusahaanya pada tahun 1957-1958. Namun kemenangan utama yang diraih PKI pada tahun 1960 dengan diloloskannya dua buah undang – undang, sebenarnya masih jauh dari cita – cita PKI yakni land reform.
Undang – undang yang pertama adalah tentang pembagian hasil panen, yang menuntut adanya pembatasan biaya sewa tanah sampai dengan 10% atau paling tinggi 30% dari nilai seluruh hasil panenan dan yang memberikan bentuk perlindungan keamanan lainnya bagi para penyewa yang membayar sewanya dengan hasil panenan (sharecropper). Kemudian yang kedua berisi tentang pemberhan suatu batasan pembagian hasil panenan minimum dengan perbandingan 50:50 dan kesepakatan lainnya yang menguntungkan penyewa tanah.
Namun dalam praktenya undang- undang ini sangat mengecewakan, karena terjadinya berbagai manipulasi sehingga belum dapat dilaksanakan. Tidak ada jalan lain bagi petani selain menghentikan penyerahan hasil panen mereka kepada tuan tanah.
Para pemilik tanah yang tidak mau melaksanakan undang – undang ini haruslah mendapatkan hukuman degan aksi – aksi sepihak petani, yaitu petani sendiri yang menyimpan hasil panen yang menjadi hak mereka sampai sekurangnya 60% kalau mereka memang harus membagi bagian yang tersisanya baik dengan pemerintah maupun tuan tanah.
Aksi – aksi sepihak (aksef) ini memunculkan suatu dilema yang dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan peristiwa Madiun (Madiun affair). Partai harus berhadapan dengan anggotanya sendiri, baik yang mendukung ataupun yang menentang aksi – aksi semacam itu. Permasalahan menjadi serius karena aksi –aksi semacam itu yang mendapat dorongan dari partai, sedangkan dipihak penentang mendapatkan dukungan dari partai – partai Islam sperti NU, dari PNI, dan juga militer. PKI pada akhirnya tidak mempunyai banyak pilihan selain memberikan dikungan kepada gerakan para petani tersebut.
PKI juga harus menghadapi masalah serius yakni pertentangan yang terjadi antara kepentingan – kepentingan para petani dengan para tuan tanah dalam setiap sisi partai tersebut. Partai ini memberikan dorongan terhadap banyaknya aksi yang dilakukan para petani, namun ternyata malah berakibat pada hilangnya beberapa basis dukungan potensial. Dikarenakan petani –petani yang tidak memiliki tanah mungkin merasa putus asa dan tetap setia pada para pemilik tanah, dan setia kepada Pancasila yang berarti bertaqwa kepada Tuhan.
Tujuan jangka panjang PKI yang ingin mendapatkan massa pendukung sebanyak mungkin, pada akhirnya berusaha mempercepat ditempuhnya aksi –aksi protes yang dilakukan petani penyewa terhadap lambannya pelaksanaan undang – undang tentang kesepakatan hasil panen. Sesuatu yang akhirnya membuat mereka mendapatkan reputasi buruk sebagai pembuat ulah (trouble makers).
Sikap antipati terhadap  PKI ditunjukkan kelompok – kelompok Islam, khususnya GP ANshor organisasi kepemudaan NU yang menjadi pelopor untuk menentang PKI. Mereka menekankan kepada orang – orang komunis untuk memelihara persatuan nasional.
Pada akhirnya kenapa PKI mengalami kemunduran, sebenarnya ada beberapa alasan. Pertama adanya sebuah kepercayaan yang kelewatan atas adanya dukungan politik tingkat tinggi dalam membendung kekuatan – kekuatan oposisi. Kedua adanya kecenderungan bahwa kesetiaan – kesetiaan terhadap suatu aliran ternyata jauh melampaui perbedaan kelas. Ketiga adanya perlindungan yang diberikan kepada PKI kepada tuan tanah yang menjadi simpatisannya.
Dalam buku ini penulis mengkaji tentang PKI melalui penelitian antara tahun 1950 – 1965 yang menekankan pada pengaruh Dipa Nusantara Aidit terhadap perkembangan perjalanan partai. Buku  yang “langka” karena baru bisa keluar setelah era reformasi, tidak banyak penulis yang berani mengangkat tema PKI dengan berbagai konsekuensi berbahaya. Peter Edman si penulis juga lebih obyektif dalam mengkaji sejarah perjalanan PKI karena selain orang dari luar Indonesia (Papua Nugini), ia juga akademisi James Cook University di Australia bidang sejarah Asia Tenggara dan Indonesia. Mampu menjawab sejarah bagaimana sebenarnya PKI tidak selalu berwajah jahat sepeti yang diasumsikan masyarakat sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;