Kamis, 03 Agustus 2017

Rosita dan Pemberitaan Media Soal Bunuh Diri

Rosita (16), remaja yang baru saja lulus dari Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Tumpang ditemukan tewas di dalam kamar rumahnya di Dusun Glendangan, Desa Ngingit, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (28/7/2017) sekira pukul 05.00 WIB. Almarhum pertama kali ditemukan tewas oleh ibunya, Wijiyati yang akan membangunkannya.

Seperti diberitakan Malang Post, remaja ini tewas dengan mulut yang mengeluarkan busa dan terdapat luka lebam di sekujur tubuhnya. Koran ini buru-buru menyimpulkan kematian Rosita karena bunuh diri dengan meminum obat-obatan antobiotik melebihi dosis. Remaja ini diketahui sakit lambung sehingga harus minum obat-obatan. Dalam berita itu juga disebutkan sejumlah warga menduga lebam pada tubuhnya karena remaja ini sering disiksa ibunya.

Pemberitaan kematian Rosita di koran ini mendapat porsi lebih dengan dipilihnya sebagai headline berita utama halaman 1 edisi Sabtu (29/7/2017) dengan judul 'Sempat Viral, Remaja Ini Bunuh Diri'. Meskipun dalam berita itu ditulis bahwa kematian Rosita masih dalam penyelidikan polisi. Kasatreskrim Polresta Malang, AKP Azi Pratas Guspitu masih belum menyimpulkan penyebab kematiannya. Polisi kini masih menyelidiki dan menunggu hasil visum luar dari Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang.

Rosita sempat menjadi obyek berita dan diperbincangkan publik Januari 2017 lalu setelah uang tabungan Rp 42 juta di sekolah tidak diakui gurunya. Dilansir dari detik.com, Rosita akan mengambil uang tabungan itu ketika akan lulus dari sekolah itu, tetapi sekolah atau wali kelas tidak mengakui tabungannya. Saking takutnya, putri pasangan Wijiyati dan Suryono ini mencoba bunuh diri dengan menenggak beberapa butir pil obat sakit kepala dicampur minuman bersoda. Beruntung nyawa Rosita bisa diselamatkan setelah dilarikan ke rumah sakit tidak jauh dari rumahnya.

Remaja ini berencana mengambil uang tabungan sebelum liburan sekolah agar dapat digunakan untuk merayakan lebaran dan biaya masuk SMA. Setiap kali menabung ia dan ibunya mencatat dalam buku tabungan yang dimiliki sendiri karena wali kelas tidak memberikan buku tabungan sebagai catatan.

Ibu Rosita, Wijiyati mengakui polemik ini berdampak pada psikologis anaknya. Rosita yang selalu menagih dan mencari saksi ke teman-temannya membuat dirinya dijauhi dan merasa diacuhkan oleh sekolah. Sementara Kepala Sekolah MTsN 1 Tumpang, Pono mengatakan kalau tabungan Rosita hanya sebesar Rp 135 ribu. Nominal itu sesuai dengan yang tercatat dalam buku tabungan yang dimiliki wali kelas. Polemik ini menjadi sorotan Kementerian Agama (Kemenag) dan Dinas Sosial Kabupaten Malang.

Pemberitaan ini sempat menjadi viral di media sosial dan mendapat tanggapan luas dari masyarakat. Tidak sedikit netizen yang turut membagikan berita ini dan mengomentarinya. Mereka tanpa disadari abai dengan kondisi Rosita itu sendiri. Sangat dimungkinkan kondisi psikologis remaja ini justru semakin memburuk dan bukan malah membaik setelah diberitakan.

Septi Prameswari dalam tulisannya di youthproactive.com berjudul 'Jadi Korban Kedua Kali Karena Pemberitaan, 5 Contoh Kasus', mengkritisi media massa dalam memberitakan khususnya kasus anak dalam perkembangan digital. Media dianggapnya seringkali kebablasan dan mengabaikan prinsip jurnalisme dasar bahkan menafikan empati. Hal ini seringkali terlihat dalam pemberitaan, khususnya di media daring.

Media daring seringkali mencari angle yang kontroversial dengan judul bombastis dan konten pemberitaan yang justru seringkali menyudutkan korban atau menimbulkan trauma bagi korban dan keluarga korban. Akhirnya tanpa disadari, korban menjadi "korban" kedua kali oleh pemberitaan media. Ditambah kebiasaan netizen kita yang dengan cepat membagi informasi media yang kadang tanpa tahu benar-tidaknya informasi itu, tanpa mempertimbangkan efek bagi obyek berita tersebut.

Di sisi lain porsi pemberitaan kasus bunuh diri di media massa menjadi perhatian para psikolog. Mereka berharap media proporsional dalam memberitakan kasus bunuh diri dan tidak harus membesar-besarkan. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta, Nova Riyanti Yusuf dalam #DiskusiRuangTengah yang digelar Tempo.co mengatakan, pemberitaan di media massa menjadi satu faktor pendukung seseorang untuk meniru tindakan bunuh diri setelah membaca, menyaksikan atau mendengar berita tentang bunuh diri. Seseorang yang tidak terpikirkan akan bunuh diri sekalipun bisa terinspirasi untuk bunuh diri. Karena itu dia menghimbau kepada media massa dan jurnalis untuk membuat berita kasus bunuh diri yang kondusif. Ini menurutnya juga sudah diatur dalam Undang-undang (UU) Kesehatan Jiwa.

"Jangan sampai pemberitaan justru membuat keinginan untuk bunuh diri. Karena bunuh diri itu kecenderungannya meniru. Media pemberitaannya harus kondusif sesuai dengan yang diatur UU kesehatan jiwa, tidak memgandung unsur kekerasan kepada orang lain dan diri sendiri," ujar Nova, Jumat 28 Juli 2017 di Ruang Teater Mini, Gedung Tempo, Lantai 4, Jalan Palmerah Barat No 8, Jakarta Selatan yang saya saksikan melalui live streaming facebook Tempo Media.

Media-media di sejumlah negara menurutnya bahkan telah memiliki sejumlah aturan sendiri dalam pemberitaan kasus bunuh diri. Aturan yang disepakati itu di antaranya pemilihan kalimat dan kata sehingga berita yang disajikan tidak menginspirasi pembaca untuk meniru tindakan bunuh diri seperti kasus yang diberitakan. Kepala Koordinator Into The Light Indonesia, Benny Prawira Siauw dalam diskusi itu menambahkan, kelompok atau individu yang rentan bunuh diri satu di antaranya adalah mereka yang diekspose secara tidak adil dalam pemberitaan media.

Selain itu, Benny menghimbau kepada media agar menyajikan berita bunuh diri setelah mendapatkan konfirmasi dari kepolisian mengenai kepastian kematian korban memang benar karena bunuh diri. Dan menyajikannya secara aman dalam berita bekerjasama dengan profesional sebagai narasumber misalnya psikolog. Media juga dihimbau agar tidak menjadikan berita bunuh diri sebagai wabah yang menonjol atau membuat gawat, cukup menampilkan data kasus saja.

Seseorang yang akan bunuh diri menurutnya akan memberikan tanda sebelum melalukannya. Tanda yang dimaksud itu bisa menjadi pedomam bagi orang terdekat untuk mencegahnya. Di samping itu juga tidak ada faktor tunggal penyebab bunuh diri, mereka yang bunuh diri cenderung menghadapi persoalan yang kompleks tidak hanya satu masalah saja.

"Jangan menjadikan berita bunuh diri sebagai wabah yang menonjol, data saja yang ditampilkan. Jangan juga berita kelihatan bunuh diri gak ada peringatan sama sekali, biasanya mereka (pelaku) memberi peringatan. Surat bunuh diri dijaga privasinya jangan disebarluaskan. Jangan wawancara polisi, saksi sebab tunggal karena tidak ada sebab tunggal dalam kasus bunuh diri, itu kompleks multifaktor yang menyebabkan," tuturnya.

Sementara apabila penyebab kematian masih belum jelas semisal antara dibunuh atau bunuh diri, lebih baik menunggu hasil penyelidikan kepolisian saja. Meskipun jurnalis melakukan investigasi sendiri tetapi laporannya agar tidak diberitakan secara vulgar di pemberitaan media.

Potensi bunuh diri menginspirasi orang disekitarnya untuk melakukan tindakan bunuh diri serupa menurutnya sebesar 20-25 persen. Artinya orang terdekat pelaku bunuh diri sangat rentan untuk ikut bunuh diri setelah kematian pelaku. Terlebih orangtua apabila yang bunuh diri itu anaknya akan sangat merasa bersalah dan bisa saja akan ikut bunuh diri.

"Internal keluarga yang terdampak secara langsung kita harus pertimbangkan. Stigma, aib itu berat sekali apalagi orangtua yang anaknya bunuh diri itu pasti disalahkan banget," ucapnya.

Data WHO disampaikan Nova menunjukkan angka tertinggi kasus bunuh diri tertinggi lansia dan kedua remaja belasan tahun. Mereka yang bunuh diri 49 persen menggunakan pistol, 39 persen gantung diri dan tujuh persen menggunakan racun. "Salah satunya penggunaan obat anti depresan yang tinggi membuktikan erat kaitan bunuh diri dengan gangguan depresi, mood atau perasaan," kata Nova.

Dari data hasil penelitian CDC disebutkan bahwa 13.000 remaja berkeinginan bunuh diri setiap 12 bulan sekali. Sebanyak 21,8 persen remaja perempuan dan 12 persen remaja laki-laki pada 2016. Pada 2015, pelajar SMP dan SMA yang ingin bunuh diri sebanyak 5,9 persen perempuan dan 4,3 persen laki-laki.

Ia berharap orang di sekitar remaja agar lebih peka dengan permasalahan ini. Salah satu upayanya dengan menggali ide bunuh diri pada remaja yakni dengan menanyakan permasalahan serta memberikan solusi. Selama ini seringkali orang di sekitar mereka tidak peka, terutama guru bimbingan konseling di sekolah, keluhan siswa sering disepelekan padahal permasalahan itu serius bagi siswa itu.

Di sisi lain, Emile Durkheim, tokoh sosiologi dari Jerman dalam teori suicide menyebutkan bahwa penyebab seseorang bunuh diri tidak saja disebabkan faktor psikologi saja tetapi juga disebabkan faktor sosiologis dalam artian lingkungan di sekitarnya. Melibatkan Rosita dalam polemik uang tabungannya antara orangtua dan pihak sekolah juga bukanlah sesuatu yang tepat. Dalam kasus ini Rosita seakan menjadi orang yang paling bertanggjawab atas uang tabungan Rp 42 juta itu. Polemik ini bisa menjadi penyebab remaja ini semakin depresi dan sampai mencoba bunuh diri. (lugas wicaksono)

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;