Sabtu, 14 Januari 2012

Kepala Sekolah

Dingin menggerayangi seluruh tubuhku, menerobos masuk hingga ke dalam tulang sumsumku ketika aku dengar suara adzan subuh berkumandang sejuk dari masjid tak jauh dari rumahku, kira – kira seratus meter sebelah utara tepat di pojok pertigaan. Terpaksa mataku terbuka mendengar seruanNya. Masih terbaring di atas kasur tak langsung bangkit, termenung membayangkan apa saja hal – hal yang akan kualami dalam hari ini sebelum aku menunaikan solat subuh. 
Hari ini seperti hari – hari biasanya aku harus menjalani rutinasku sebagai kepala sekolah SMP Negeri di daerah pinggiran sebelah timur kota, jaraknya sangat jauh dari rumahku yang berada di daerah pinggiran juga tapi di sebelah selatan kota, sama – sama daerah pinggiran. Menyusuri jalanan di pagi buta untuk sampai di tempat kerja dengan sepeda motor yang kubeli dari gajiku sendiri. Banyak yang mempertanyakan kenapa aku tidak membeli mobil saja biar terlihat lebih pantas sebagai kepala sekolah? Ah, mereka tidak tahu. Gajiku memang hanya cukup untuk sepeda motor setelah dipotong kebutuhan rumah tangga. Aku juga tak begitu tertarik untuk bersandiwara yang malah akan menyiksa diriku sendiri. 

Rutinitas yang telah aku jalani ini kurang lebih telah berumur setahun. Saat itu aku mendapat jatah mengikuti tes untuk menjadi kepala sekolah setelah mengabdi berpuluh – puluh tahun menjadi guru PNS di SMP Negeri tak jauh dari rumahku. Ku jalani saja sesuai aturan yang telah ditetapkan. Sesuatu yang biasa ketika mendapat kabar jika aku lolos tes dan tak lama lagi diangkat menjadi kepala sekolah. 

Tak ada yang istimewa dengan jabatan kepala sekolah. Tetangga – tetanggaku yang polos itu menganggap hidupku sekarang lebih sejahtera dengan jabatan baru yang akan kusandang. Jabatan sebagai pucuk pimpinan sebuah sekolah yang dihormati oleh banyak orang. Ketika mereka melihat pelataran rumahku memang lebih cantik daripada pelataran rumah mereka sendiri, begitupun ketika aku memandangi pelataran rumah mereka lebih cantik dari punyaku. 

Mereka tidak tahu jika pekerjaanku ini adalah sebuah pertunjukan teater yang dipertunjukkan oleh Negara kepada rakyatnya dan aku salah satu penonton yang mendapat kesempatan khusus menyaksikan pertunjukan mereka yang begitu indah mengemas kebusukan mereka dengan berbagai sandiwaranya tanpa bisa berbuat apa – apa. 

Pertunjukan yang pertama adalah saat aku diharuskan membayar tiket masuk puluhan juta yang akhirnya aku tawar hanya menjadi belasan juta untuk memasuki gedung teater dengan menyandang jabatan baru sebagai kepala sekolah meskipun aku sudah lolos verifikasi. Seharusnya aku bisa masuk dengan gratis! 

Duitku sebanarnya tak cukup karena gaji kepala sekolah ternyata sedikit di atas gaji guru biasa, ditambah dengan jabatan lamaku sebagai kepala rumah tangga yang harus menghidupi satu istri dan tiga orang anak. Kuputuskan saja untuk meminjam uang di bank dengan jaminan SK PNS yang ku punya.

Tak cukup mengerti apa makna dibalik pertunjukan teater mereka, pertunjukan yang bernilai seni tinggi sehingga tak cukup mampu aku menangkap maknanya. Ku ikuti saja permainan mereka dengan patuh, tak berani bertingkah polah macam – macam karena aku bukan pemain teater yang professional. Sebagai PNS aku tak boleh bertingkah polah macam – macam jika tak ingin kehilangan jabatan rendahku atau berurusan dengan hukum. 

Sama dengan bunuh diri jika kita melawan sistem tapi masih berada di dalamnya. Jika aku mati bagaimana dengan anak istriku? Aku adalah tulang punggung keluarga yang harus bertindak realistis menghadapi kehidupan yang terkadang merugikanku. Beruntungnya aku juga masih punya agama yang menyuruhku selalu sabar, dan berjanji akan menuntut balas orang – orang yang dzalim. Entah sampai kapan?

Aku juga takut korupsi. Selain karena persoalan moral, orang – orang sepertiku hanyalah tikus – tikus kecil yang mudah masuk perangkap manusia atau dijadikan umpan oleh tikus yang lebih besar jika kuputuskan kerja sampingan menjadi koruptor. Sama tragisnya dengan kepala sekolah lama yang telah kugantikan setelah ketahuan korupsi dana BOS.

Pertunjukan yang kedua adalah ketika aku mendapat kabar bahwa bantuan dana untuk membangun atau merenovasi gedung sekolah dari pdmerintah pusat telah turun ke pemerintah daerah. Bergegas kudatangi instansi pemda terkait untuk mengurusi segala persyaratannya. Banyak persyaratan tertulis yang harus kupenuhi, dan Insyaallah aku bisa memenuhinya untuk segera mempercantik sekolahku agar tak semakin jauh tertinggal dengan sekolah – sekolah kota. 

Tapi selain itu ternyata ada lagi persyaratan tak tertulis yang diajukan oknum instansi pemda. Bantuan dana itu layaknya ikan besar yang terperangkap diantara bebatuan karang pantai setelah jenuh berlama – lama hidup di lautan lepas. Dan aku harus memancing dengan ikan kecil tapi juga tak terlalu kecil kira – kira pantaslah untuk digunakan sebagai umpan pancing agar ikan besar itu jatuh ke tanganku. Jika tidak maka sampai jelek, sampai tua, sampai matipun tak akan kudapatkan ikan itu, dan didahului pemancing – pemancing lain yang punya cukup umpan, atau mungkin aku tak tahu entah larinya ke mana ikan itu. Pemancing lain pun aku pikir sama halnya denganku yang tak punya cukup pilihan selain harus memancingnya dengan umpan yang pantas.

Pertunjukan yang ketiga adalah ketika pemerintah berwacana tentang sekolah gratis setelah mendengar jeritan rakyat yang menderita karena biaya sekolah yang terlampau tinggi untuk dijangkau rakyat kecil. Wacana yang bagus karena pendidikan adalah pondasi utama sebagai syarat jika Negara ingin dianggapa maju. Semua lapisan masyarakat pun juga berhak untuk menikmati pendidikan. Orang misin jangan dilarang sekolah, tapi sekolahkanlah! Sejenak ku bayangkan jika anak – anak manusia yang miskin dan ingusan itu memiliki pengetahuan yang lebih sebagai bekal untuk menggapai mimpinya. Cukup indah. 

Tapi jika semua sekolah digratiskan apakah semua fasilitas sekolah di seluruh negeri ini sama dan seragam? Anak SD pun saya pikir sudah bisa menjawab. Untuk sekolah di kota memang cukup mampu menyelenggarakan program sekolah gratis, aku lihat fasilitas yang mereka miliki sudah cukup mendukung. Lalu bagaimana nasib sekolah pinggiran yang fasilitasnya masih serba pas – pasan? Tidak akan jadi masalah bagiku mengenai wacana sekolah gratis dan aku pun justru bahagia jika pemerintah tidak berat sebelah dan menyamaratakan perhatiannya kepada semua sekolah terlebih dulu sebelum merealisasikan program sekolah gratis.

Sebenarnya sejak kemarin sore program – program dari pemerintah di bidang pendidikan untuk anak miskin sudah ada, bahkan sekolahku juga dipenuhi siswa dari kelas menengah ke bawah karena berada di pinggiran. Aku juga pernah naik gunung membujuk siswaku untuk mengikuti ujian nasional, ia putus asa karena setelah dipikir meskipun sekolah pun tak akan menjamin masa depannya akan lebih baik, tetap saja hidupnya miskin dan lebih baik ia membantu bekerja orang tuanya dengan menggembala kambing. Baginya sekolah bukan suatu kebutuhan yang penting.

Juga soal prestasi menjadi sesuatu yang biasa jika sekolahku kalah bersaing dengan sekolah kota. Siswa – siwa yang cerdas dan mampu secara ekonomi pasti larinya ke sekolah kota yang lebih bergengsi dan menjamin prestasi mereka. Pecundang jika fenomena ini aku jadikan alibi penyebab sekolahku tak kunjung berprestasi. Sudah menjadi kewajibanku membangun sekolah yang ku pimpin ke arah yang lebih baik.

Pertunjukan – pertunjukan teater di negeriku ini memang cukup memukau hingga membungkam mulutku. Tentunya masih banyak beragam pertunjukan yang menghadang untuk menghisasi perjalananku. Tanggung jawabku sebagai kepala sekolah memang tidak main – main. Di satu sisi masyarakat menuntut haknya di bidang pendidikan yang cukup penting agar tidak selalu dibodohi oleh orang – orang pintar yang rakus, di sisi lain pemerintah sibuk mempertunjukkan drama teaternya yang begitu memukau hingga masyarakat sebagai penonton tak cukup memahami makna dibalik pertunjukan itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;