Selasa, 03 Januari 2012

Rekayasa Pendidikan Sejarah Oleh Orde Baru

Judul Buku          : Pemahaman Sejarah Indonesia
                                 Sebelum dan Sesudah Revolusi
Penyunting         : William H. Frederick dan Soeri Soeroto
Pengantar          : Asvi Warman Adam
Penerbit             : Pustaka LP3ES Indonesia
Tebal                 : xxxiii + 507 hlm; 23 x 15,5 cm
Cetakan             : 3, Juli 2005



Buku yang mengupas tentang perjalanan bangsa Indonesia mulai dari sebelum sampai pada sesudah revolusi dewasa ini. Sejarah yang sebelumnya tidak banyak diketahui masyarakat dikupas tuntas dalam buku ini seobyektif mungkin, karena penulisnya memang benar – benar sejarawan yang murni akademisi dan jauh dari kepentingan politik. Tragis melihat sejarah Indonesia ternyata tidak benar – benar asli dari suatu peristiwa bersejarah. Banyak indikasi yang mengarahkan bahwa sejarah dibuat oleh penguasa dan cenderung mengutamakan mereka. Maka kehadiran buku ini mencoba meluruskannya, dan melihat dari berbagai perspektif. Sejarah yang sebelumnya dilihat dari perspektif penguasa, mencoba dilihat dari perspektif korban.
Cukup menarik buku ini membahas bahwa produk pendidikan sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah – sekolah selama rezim orde baru adalah produk dari penguasa yang penuh manipulasi demi mempertahankan kepentingannya. Rezim yang berkuasa selama 32 tahun ini cukup banyak waktu untuk manipulasi sejarah secara sitematis.
Seperti yang diungkapkan Asvi Warman Adam dalam kata pengantar buku ini. Beliau membagi dua strategi pemerintahan Orde baru dalam merekayasa sejarah; yang pertama, mereduksi peran Soekarno dan yang kedua membesarkan jasa Soeharto. Usaha yang pertama mencoba menghilangkan foto mengenai pengibaran bendera saat proklamasi kemerdekaan, namun gagal karena banyak menuai protes dari sejarawan. Kemudian juga melarang pemikiran Soekarno untuk terus tumbuh dan berkembang, seperti pelarangan pendirian Universitas Bung Karno dan peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni sejak tahun 1970.
Sedangkan usaha untuk membesar – besarkan Soeharto dilakukan melalui buku sejarah ataupun media lainnya seperti film dan monument – monument. Seperti film “Janur Kuning”, “Serangan Fajar” yang lebih menonjolkan peran Soeharto daripada tokoh lain. Juga ada film tentang Gerakan Tiga Puluh September (G-30S/PKI) yang wajib diputar pada semua saluran televisi di Indonesia setiap tanggal 30 September malam.
Buku – buku sejarah di sekolah – sekolah tidak luput dari perhatian Orde Baru sebagai alat untuk kepentingan mereka. saat itu buku sejarah yang ada di sekolah – sekolah adalah versi resmi yang dikeluarkan oleh aparat keamanan dan pemerintah. Tahun 1994 terbit buku yang menjelaskan latar belakang, aksi dan penumpasan gerakan PKI dari perspektif pemerintah Orde Baru. Menurut buku itu pelaku utama atau dalang dari Gerakan Tiga Puluh September 1965 adalah PKI dan Biro Chususnya. Padahal sebenarnya ada lima versi lainnya yang juga patut dipertimbangkan sebagai dalang peristiwa tersebut, yaitu 1) Sebuah Klik Angkatan Darat (Cornell Paper, Wertheim), 2) CIA/ Pemerintah AS (Peter Dale Scott, G.Robinson), 3) Presiden Soekarno (John Hughes, Antonie Dake), 4) Oknum PKI (tim ISAI), 5) Tidak ada pelaku tunggal (Nawakara, Manai Sophian). Yang lebih menonjol belakangan ini adalah versi “kudeta merangkak” Soeharto antara lain yang dikemukakan oleh Soebandrio.
Selain itu juga upaya – upaya rekayasa pendidikan sejarah untuk menghegemoni peserta didik yang pikirannya masih kosong dan tak tahu apa – apa, diberikannya buku SNI (Sejarah Nasional Indonesia) terutama jilid 6. Aspek militer ditonjolkan dan perjuangan bersenjata dipuji sedangkan diplomasi dikritik.
Buku PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) yang dilatarbelakangi hasrat Presiden Soeharto agar pelajaran sejarah tidak sekedar mengajarkan pengeahuan sejarah, melainkan juga menanamkan nilai – nilai perjuangan bangsa dalam hati siswa. Keinginan yang muncul setelah melihat internal ABRI yang ternyata calon tarunanya memiliki pengetahuan yang dangkal tetang sejarah. Jelas terihat bahwa kepentingan militer mampu mendikte kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Tujuan instruksional dari PSPB antara lain:
  • Siswa menyadari bahwa penjajahan Belanda menyebabkan penderitaan rakyat Indonesia 
  • Siswa meyakini kebenaran perjuangan para pahlawan dalam mengusir penjajah 
  • Siswa menyadari bahwa persatuan dan kesatuan  telah mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan
  • Siswa menyadari bahwa politik “divide et impera” Belanda dapat terlaksana karena tidak adanya persatuan dan kesatuan
  • Siswa meyakini bahwa tidak adanya persatuan dan pengutamaan kepentingan pribadi dan golongan mengakibatkan pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945 
  • Siswa menyadari bahwa aksi – aksi sepihak PKI merupakan pemaksaan kehendak secara sepihak untuk menghancurkan NKRI
  • Siswa menyadari bahwa kesatuan – kesatuan aksi melawan PKI didorong oleh keberanian membela kemerdekaan dan keadilan 
  • Siswa meyakini bahwa Orde Baru mengutamakan kepentingan Negara dan Masyarakat. 

Tan Malaka dan Alimin dihapus dari daftar pahlawan nasional karena terindikasi sebagai orang – orang sayap kiri. Padahal perjuangan mereka jika ditelusuri sejarah melebihi dari perjuangan – perjuangan Soeharto ataupun aparat militer Orde Baru.
Terlihat sekali bermuatan politis. Seolah – olah PKI adalah kelompok yang sangat berbahaya dan menjadi musuh bersama bagi masyarakat Indonesia sehingga layak untuk dimusnahkan. Melalui buku – buku sejarah yang wajib diajarkan kepada siswa di sekolah, Orde Baru telah berhasil “mencuci otak” masyarakat Indonesia. Bahwa sejarah merekalah yang resmi dan “benar” sehingga masyarakat harus mempelajarinya. Sampai sekarang pun dampak dari rekayasa sejarah Orde Baru masih sangat terasa, stigma negative masyarakat mengenai PKI masih terus melekat dan tidak bisa dihilangkan dengan mudah.

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;