Senin, 26 Desember 2011

Secuil Pemikiran Pramoedya Ananta Toer Tentang Nasionalisme


Siapa yang tak kenal sosok Pramoedya Ananta Toer? Sastrawan yang terkenal sebagai perokok berat dan karya - karya sastra realisme sosialis yang mampu menggebrak Indonesia pada jamannya. Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 dan wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun. Salah satu tokoh Lekra, organisai sayap kiri bagian dari PKI - tapi ia bukan PKI. gerakannya banyak dilakukan lewat tulisan yang menceritakan realitas sosial pada jaman itu. karena tulisannya yang dianggap berbahaya itulah ia sering berurusan dengan pemerintah yang berkuasa. Beberapa tulisannya menggambarkan pemikirannya tentang nasionalisme yang dikemas apik dalam karya sastranya.
Ia mengkritik fenomena kekuasaan yang terlalu Jawa Sentris. Fenomena ini ini ditolak oleh Pram dikarenakan sudah sejak zaman penjajahan pusat pemerintahan selalu berada di Jawa yang mengakibatkan banyak ras-suku yang bermigrasi ke Jawa. Mereka menganggap bahwa Jawa lebih baik dari pulau lain dan lebih, mudah, enak, nyaman, tenteram, bahagia bekerja ataupun sekolah di Jawa. Singkatnya, mereka lebih suka hidup di Jawa daripada hidup di daerahnya sendiri yang secara pembangunan masih tertinggal dari Jawa. Pram menilai apabila konsep pemusatan kekuasaan nasional di Jawa cenderung menjadikan kita sebagai bangsa yang hanya bergerak ke dalam, tidak berani melakukan ekspansi, dan menonjolkan kekutan di luar. Bangsa yang hanya cari aman saja, Akibatnya banyak terjadi konflik internal tidak berkesudahan dalam perjalanan bangsa sejak merdeka sampai reformasi. Sebenarnya menurut pengakuan Pram, ketika zaman Soekarno muncul wacana tntuk memindah ibukota Negara ke Palangkaraya, ia setuju dengan wacana tersebut. Namun, tidak terlaksana karena pemerintahan beralih ke rezim Soeharto. Sebenarnya sewaktu zaman Soeharto Pram berharap bahwa pusat pemerintahan akan berpindah dari Jawa. Namun, setelah lama menanti sampai rezim Soeharto beralih ke era reformasi tidak kunjung berpindah, dan pusat pemerintahan sampai saat ini tetap berada di Jakarta yang masuk wilayah Jawa.

Secara garis besar konsep nasinalisme Pram yang dikaitkan dengan bentuk Negara, Pram lebih suka bentuk kesatuan. Ia tidak sepakat dengan bentuk federalism, karena ia menganggap bahwa dengan federalism intervensi asing akan mudah masuk ke Indonesia. Pram lebih menyukai otonomi sebagai bentuk kompromi pertentangan konsep Negara kesatuan yang terlalu absolute dengan konsep Negara federalism yang terlalu bebas. Apabila memakai konsep Negara federalisme Indonesia juga belum tentu mampu menerapkannya. Karena wilayah kelautan juga masih sering kecolongan.

Pram berasumsi bahwa persoalan mendasar yang perlu dibenahi dalam persoaln berbangsa dan bernegara adalah wawasan dari sejarah yang berangkat dari rasa kebersamaan sehingga kita menjadi satu bangsa Indonesia. Wawasan tersebut tidak boleh dilupakan dan harus dikuatkan dan disepakati. Tugas kita adalah mengajarkan wawasan kebersamaan tersebut kepada anak-anak.
Kata kunci konsep dasar nasionalisme dalam sejrah pergerakan masyarakat Indonesia sebenarnya adalah persatuan. Pram pernah menulis karyanya  yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Yang dilatarbelakangi kunjungan Pram ke Banten untuk menggerakkan masyarakat dalam persatuan untuk melawan pemberontakan DI/TII. Soekarno pernah berkata bahwa Pancasila itu bisa diperas menjadi trisila kemudian bisa diperas lagi menjadi satu, yaitu gotong royong. Pram menceritakan dalam karyanya tersebut tentang nasib masyarakat yang selalu ditindas terus, mulai dari penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, Agresi Militer Beanda I dan II, kemudian ditambah lagi pemberontakan DI/TII. Penindasan yang sempurna untuk masyarakat Indonesia. Makin menderita saja masyarakat Indonesia, kemudian sudah menderita masih ditambah lagi tercerai berainya tatanan masyarakat. Jika masyarakat tidak mau bersatu dan gotong royong tunggu saja datangnya pahlawan bertopeng yang akan melepaskan masyarakat dari penderitaan akibat penindasan. Penderitaan ini sangat kronis karena berlangsung sangat lama dan terus menerus sampai keturunan-keturunan berikutnya.
“Ah pak, itu-itu juga yang kau katakana. Kau terlalu sabar.
Tapi kapan keadaan akan jadi lebih baik?”
Kapan? Itu tergantung pada kapan kita sendiri mulai mengusahakan.”
“Ya kapan? Dari dahulu kita dauber-uber lurah, tuan besar, rodi, wajib desa. Kita tak sempat cari penghidupan layak. Zaman Jepang? Romusha. Zaman Nica? Kerja Rodi, ditembak. Sekarang? Diuber-uber DI.”….
“Nasib kita akan lebih buruk kalau mereka membalas.”
“Tidak kalau kita membalas.”
“Biar bersatu, mereka punya senjata.”
“Tidak, kita bersatu dan juga melawan, bahkan menyerang. Kalau ada persatuan, semua bisa kita kerjakan, jangankan rumah, gunung dan laut kita pndahkan.”….
“Abdi dengar. Pak Lurah. Tapi abdi lebih percaya pada kebenaran.”
“Kau belum banyak makan garam, Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat Palembang. Surabaya, Jakarta, Bandung. Di mana-mana sama saja. Di mana-mana aku selalu dengar. Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menadi benar”[1]

Pram juga melihat jika perkembangan nasionalisme dari tiap zaman perlu dilakukan perubahan. Zaman kolonialime tentu berbeda situasi dan kondisinya dengan orde lama maupun orde baru. Nasionalisme 45 adalah semangat. Musuh kita pada tahun 45 adalah penjajah yang bisa dilawan dengan perang yang menggunakan kekuatan fisik. Seperti halnya Perang dunia I, Perang Dunia II, atau Perang Salib. Namun, saat ini perang yang kita alami berganti menjadi perang ekonomi, pertarungan menanamkam modal di Negara lain.



[1] Pramoedya Ananta Toer, Sekali Peristiwa Di Banten Selatan, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2004), hlm. 28, 76-77.

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;