Minggu, 18 Mei 2014

Hitamnya Rumput Lapangan Sepakbola Indonesia

Minggu (18/4) pagi senyumnya mengembang saat membaca halaman olahraga Nasional di sebuah surat kabar. Tepatnya di halaman paling belakang membahas preview klub kesayangannya yang akan menghadapi sebuah klub papan atas. Lengkap dengan jadwal pertandingan yang rencananya akan disiarkan langsung RCTI pukul 19.00 WIB.


Semangatnya kembali tumbuh setelah cukup lama tidak menyaksikan klub kesayangannya berlaga di Indonesia Super League (ISL). Maklum ia adalah perantau yang jauh dari daerahnya dan kini bekerja Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Pagi itu pukul 07.30 Wita cepat-cepat berangkat memulai pekerjaan lebih awal dari hari-hari biasanya.

Harapannya biar pekerjaannya segera selesai dan bisa menyaksikan klub kesayangannya berlaga di ISL melalui stasiun televisi malam harinya. Sebab ia bukan pekerja kantoran yang jam kantornya sudah ditentukan mulai dari jam sekian sampai sekian. Ia baru bisa santai saat pekerjaan hari itu telah dituntaskan. Tidak jarang baru tuntas malam hari, bisa sampai pukul 22.00 Wita.

Sesuai rencana pekerjaannya selesai pukul 18.00 Wita. Rasa lelah pun tidak terasa saat teebayang klubnya akan segera berlaga. Baginya tidak ada yang lebih istimewa menyaksikan klubnya berlaga dengan baik, meraih kemenangan dengan fair dan meraih juara di akhir musim. Rindu. Ingin sekali meyaksikan hijaunya rumput lapangan hijau, gemuruh suara suporter dan berebut bola sesegera mungkin menciptakan gol. Drama. Tackling keras, protes pemain pada wasit, kemarahan offisial tim karena timnya merasa dicurangi, lemparan botol air ke lapangan. Itulah ISL. Memiliki kekhasan tersendiri.

Ia memang dilahirkan dari daerah yang karakter masyarakatnya gila bola. Dari kecil ia sudah senang membaca surat kabar yang membahas klub kesayangannya, memperhatikan setiap pemain dan menontonnya di stadion. Senang saat menang dan sedih saat klubnya kalah. Berbagi cerita bersama teman-teman membahas siapa yang bermain baik dan siapa yang bermain buruk.

Sore itu ia segera mandi, makan dan sembahyang sambil mendoakan kemenangan untuk klub kesayangannya. Tidak lupa ia membeli snack, minuman dan rokok untuk menemaninya saat menonton. Maklum di daerah itu tidak ada rekan satu daerahnya yang bisa diajak nonton bareng. Jam menunjukkan pukul 20.00 Wita. Ia nyalakan televisi kecil di kamar kosnya, dicarinya chanel RCTI. Gambar hitam pekat muncul.

Tidak ada hijaunya rumput lapangan, tidak terdengar gemuruh suporter, peluit kick off wasit dan kicauan komentator. Ah mungkin gangguan sebentar. Digantinya ke chanel lain menyaksikan tayangan komedi sambil berharap di RCTI sudah tidak gangguan lagi. Selang tiga menit digantinya lagi ke RCTI, tetap gambar hitam. Sabar sambil berdoa. Terus berulang-ulang sampai 30 menit. Tetap sama. Hitam pekat!

Ia lupa jika di Kabupaten Buleleng Bali tidak bisa menyaksikan televisi menggunakan antena UHF. Di daerah itu hanya bisa menggunakan parabola atau televisi kabel. Tetapi di kamar kosnya memakai parabola tanpa merek jelas, dan bukan televisi kabel merek Indovision.

Tidak ada klub kesayangannya, tidak ada siaran langsung ISL di televisi. Hanya gambar hitam pekat. Ia redam kembali rasa rindunya kepada klub kesayangannya. Besok ia harus kembali bekerja dan mungkin baru selesai pukul 22.00 Wita.

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;