Selasa, 28 Maret 2017

4 Tradisi Sebelum dan Sesudah Nyepi di Buleleng

Hari Raya Nyepi adalah Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi dan melaksanakan catur brata penyepian.

Saat Nyepi tidak ada aktivitas yang dilakukan. Termasuk semua kegiatan di Bali ditiadakan. Di tempat umum hanya ada pecalang yang bertugas untuk menjaga Nyepi dan memastikan tidak ada warga yang beraktivitas. Kalaupun ada warga yang kedapatan beraktivitas saat Nyepi akan dikenakan sanksi adat.



Ini untuk menjaga kekusyukan umat Hindu saat melakukan perenungan selama 24 jam dan diharapkan melalui ini akan menjadi manusia yang lebih baik.

Ada pantangan yang tidak boleh dilakukan selama Nyepi. Di antaranya Ameti Karya (dilarang bekerja), Ameti Lelungan (dilarang bepergian), Ameti Laguang (dilarang berpuasa) dan Ameti Geni (dilarang menyalakan api).

Tujuan utama Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sanghyang Widhi Wasa) untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia) dan Bhuana Agung (alam semesta).

Sebelum dan sesudah Nyepi, ada sejumlah ritual yang dilakukan umat Hindu. Di antaranya,

1. Upacara melasti, mekiyis dan melis

Umat Hindu melaksanakan ritual ini di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Sebagian besar umat biasanya lebih memilih melakukannya di segara karena sekaligus untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan). Tujuannya untuk penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini.

2. Menghaturkan bhakti/pemujaan

Ritual ini dilakukan di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.

3. Tawur Agung/mecaru

Di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit).

Dilanjutkan pula dengan acara ngerupuk/mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan lingkungan dari pengaruh bhutakala. Belakangan acara ngerupuk disertai juga dengan ogoh-ogoh (symbol bhutakala) sebagai kreativitas seni dan gelar budaya serta simbolisasi bhutakala yang akan disomyakan. (Namun terkadang sifat bhutanya masih tersisa pada orangnya).

4. Nyepi (Sipeng)

Dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan).

5. Ngembak Geni.

Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini.

Di antara ritual itu tidak jarang pelaksanaannya berbeda sesuai dengan tradisi di daerah tersebut. Termasuk di Kabupaten Buleleng, Bali ada sejumlah tradisi yang dilakukan berbeda dengan daerah lain sebelum dan setelah Nyepi.

Tradisi ini dilakukan setiap tahunnya karena sudah dilakukan secada turun temurun dan diyakini mendatangkan kebaikan. Tradisi ini juga salah satu kearifan lokal yang harus terus dilestarikan. Setidaknya ada empat tradisi yang berbeda itu, di antaranya;

1. Tradisi Megebek-gebekan

Tradisi ini dilaksanakan krama (warga) Desa Pakramam Tukadmungga, Buleleng, Bali sehari sebelum Nyepi. Mulai pukul 18.00 Wita, pecaruan sudah mulai dilakukan di perempetan desa dengan menghaturkan banten (sesajen) yang salah satunya sapi utuh yang telah dipotong.

Ratusan krama desa lalu berebut tulang belulang dan daging sapi utuh setelah dipotong. Megebek-gebekan adalah sebuah tradisi yang dilaksanakan krama desa, berasal dari delapan banjar adat di Tukadmungga, dengan memperebutkan bagian sapi yang telah dipotong.

Sapi yang telah dipotong itu sebelumnya telah dikuliti terlebih dahulu, dan diambil daging hingga organ tubuhnya untuk olahan makanan.

Megebek-gebekan sendiri telah dilakukan secara turun-menurun dari para leluhur krama desa Tukadmungga yang selalu dilakukan sehari sebelum Nyepi tiap tahun. Konon dahulu Desa Tukadmungga diserang hama tikus yang sangat banyak. Para leluhur lalu melakukan ritual ini untuk memusnahkan hama tikus.

2. Tradisi Ngamuk-amukan

Tradisi ini dilaksanakan krama Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali petang sehari sebelum Nyepi. Krama saling berperang api menggunakan sarana danyuh atau daun kelapa kering yang dibakar api saat macaru atau mabuu-buu di setiap rumah krama.



Danyuh yang telah dibakar laludibawa keluar di depan pintu masuk rumah. Danyuh inilah yang dipakai Ngamuk-amukan atau perang api oleh krama desa.

Tradisi ini sebagai simbol agar umat manusia pada saat melaksaakan Catur Brata Panyepian bisa menjalankan dengan baik. Tanpa harus menyimpan rasa dendam dan sifat marahnya ketika menyongsong Tahun Baru Saka.

3. Tradisi Nyakan Giwang

Tradisi memasak di luar rumah ini dilaksanakan pada dini hari setelah krama melaksanakan Catur Brata Penyepian. Tradisi ini biasa dilaksanakan krama di dua kecamatan, Kecamatan Banjar dan Kecamatan Busungbiu.




Mereka mulai menyiapkan tungku api berbahan batu-bata atau batako di depan rumah, tepat di pinggir jalan raya untuk memulai memasak ketika ngembak geni, malam seusai melaksanakan catur brata penyepian.

Mereka memulai memasak makanan berupa lauk pauk dan nasi sembari saling bertegur sapa dengan warga lain.

Seusai makanan dimasak, mereka memakan bersama makanan yang sduah siap dihidangkan itu. Tradisi ini juga dapat berfungsi sebagai sarana menyama braya atau saling mempererat tali persaudaraan antar masyarakat.

4. Megoak-goakan

Tradisi ini merupakan permainan yang dimainkan sehari setelah Nyepi oleh muda-mudi Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali.

Sebelum memainkannya, para pemuda terlebih dahulu maturang piuning, memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar permainan berjalan lancar tanpa hambatan.



Para muda-muda berbaris memanjang membentuk formasi 'ular-ularan'. Mereka lalu berlari sembari memegang erat pinggang peserta di depannya agar tidak terputus dan mengitari tanah lapang yang becek.

Permainan ini sudah dimainkan secara turun termurun sejak zaman Kerajaan Buleleng yang dipimpin Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.

Nama megoak-goakan diambil dari nama goak yang berarti burung gagak, hewan yang digemari Panji Sakti.

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;