Rabu, 18 Januari 2012

Dasamuka, Dosenku Yang Goblok!

“Kok gak nanti sore sekalian datangnya mas, jam segini baru masuk?” komentar Dasamuka ketika baru melihat wajahku masuk ke dalam ruang kelas setelah dua puluh menit kuliah berjalan, ditambah dengan tatapan mata yang tajam dan raut wajah yang dingin duduk dibalik meja dosen menambah sangar perawakannya.

“Eeeeem… anu pak, tadi di parkiran sepeda motor mau masuk macet.” Alasan yang sering ku lontarkan ketika telat masuk kelas sambil berlalu kulangkahkan kaki menuju bangku di deretan paling belakang. Alasan yang masuk akal memang, karena di kampusku jumlah mahasiswa yang menggunakan sepeda motor sangat banyak, sedangkan juru parkirnya kewalahan dengan anggotanya yang sedikit. Tak terhindarkan lagi antrian panjang sepeda motor menjadi pemandangan yang biasa saat jam – jam masuk kuliah.

Sengaja aku datang terlambat, berjalan dengan santai sambil menghisap rokok saat menuju kelas. Datang dengan tujuan memenuhi presensi saja, tanpa sedikitpun berniat mengambil ilmu darinya. Malas dengan semua mata kuliah yang diajarkan Dasamuka. Sebenarnya mata kuliahnya bagus – bagus hanya saja yang disayangkan dosen yang mengajarnya tidak bagus! 

Ya, aku menyebutnya Dasamuka yang dalam bahasa jawa berarti berwajah sepuluh. Nama yang aku ambil dari tokoh pewayangan Ramayana. Tokoh antagonis yang berperawakan menyeramkan dengan postur tubuh gagah perkasa, berbentuk raksasa dan bertaring. Ditambah dengan karakter pribadinya yang gemar unjuk kekuatan, banyak bicara untuk menakuti lawan, bengis dan kejam meski sebenarnya penakut juga. Memanfaatkan kekuasaannya sebagai pemimpin dengan kesewenang – wenangan.


Banyak kemiripan jika diperbandingkan baik dari segi fisik maupun karakter kepribadiannya. Dosenku ini bertubuh tambun, gemuk, hitam dan berwajah sangar dengan kumisnya dan rambutnya yang dipotong cepak, tapi sayang ia tak bertaring. Langkah kakinya jika berjalan terlihat congkak, menunjukkan jika ia salah satu orang berpengaruh yang punya jabatan penting di fakultas sebagai Pembantu Dekan. Karakter kepribadiannya; ingin selalu disegani, tidak terima dan langsung menjatuhkan jika pend`patnya dikritisi mahasiswa, menunjukkan jika ia penakut. Tak segan – segan memberi nilai rendah kepada mahasiswa yang “banyak omong” di kelas. 

Teman – teman dan juga aku sendiri memilih bersikap “aman” dengan duduk manis dan diam jika diajarnya. Ia juga berperilaku genit dengan menggoda mahasiswi – mahasiswinya. Memperlakukan berbeda antara mahasiswa dengan mahasiswi. Sering aku muak melihat tingkah polahnya. Mahasiswi hanya butuh modal duduk manis ditambah dengan sedikit senyum dan juga harus pasrah saat digodanya (tapi tak sampai pada tindakan pencabulan sejauh mataku memandang) jika ingin mendapatkan nilai baik. Sebaliknya mahasiswa harus bersikap sangat sopan dan hormat jika nilainya tak ingin jatuh.


Di dalam kelas aku memilih diam saja ketika ia menyampaikan materi. Sudah hafal dengan isi otak dalam kepalanya, karena aku sudah diajarnya sejak semester satu hingga kini menginjak semester tujuh. Langsung tahu jika dosen ini sama sekali tak mempunyai kapabilitas sebagai dosen sejak pertama kali diajarnya. Bagiku apa yang disampaikan di kelas ngawur semua dan sesat untuk diikuti. Aku lebih suka melamun atau sedikit mengobrol dengan teman jika di kelas, karena aku tak mau tersesat. Tak mau aku menelan ilmu ngawur yang diberikannya kepada semua mahasiswanya. Lebih baik belajar sendiri di luar kelas dengan memperbanyak mambaca buku – buku yang aku beli dengan menyisihkan uang sakuku, browsing di internet ataupun berdiskusi dengan teman – teman yang suka berdiskusi tentunya. Yang aku sesalkan sebenarnya mata kuliah yang diajarkannya cukup menarik, seperti sosiologi politik, sosiologi organisasi, sosiologi ekonomi, ekonomi politik, sosiologi industry terapan. Yang sebenarnya aku banyak kesempatan mendapat pencerahan keilmuan dari mata kuliah tersebut, namun sayang sekali dosennya sesat!


Bagaimana tidak, semisal ketika menyampaiakan materi di kelas dengan menggunakan LCD, yang seharusnya lebih efektif dengan menampilkan slide presentasi dengan format microsoft power point. ia malah menggunakan format microsoft word yang tak sedikit bagian – bagian kalimatnya masih terlihat block warna – warni. Jelas ketahuan jika ia baru saja “memetik”nya dari google tanpa diolahnya terlebih dulu. Hal yang paling sederhana dan dapat dilihat dengan mata telanjang mahasiswa bodoh sekalipun.


Menyampaikan materi tanpa landasan teori yang jelas, sehingga tampak meragukan. Jika mahasiswa kurang puas dan menanggapi pendapatnya, yang terlihat adalah raut wajah terkesan tidak suka dan pendapat ngawur keluar dari mulutnya. Jika mahasiswanya masih ngotot mempertahankan pendapatnya ketika beradu argument, ujung – ujungnya kalimat – kalimat mengejek keluar dari mulutnya, seperti “anda memangnya sudah professor mas?” dan lihatlah nilai akhir, maka yang keluar adalah nilai rendah! Sungguh ancaman yang menakutkan dan terkesan tidak fair bagi mahasiswa. Aku tahu itu semua strategi untuk menutupi kekurangannya. Sebenarnya aku tahu jika ia sadar tidak mempunyai kapabilitas sebagai dosen. Tapi rupanya ia tak tahu malu dengan tetap mempertahankan jabatannya sebagai dosen, dan parahnya tak mau belajar. Menyuruh mahasiswanya belajar tapi ia sendiri tidak belajar.


Malahan menempatkan diri seolah – olah sebagai raja yang harus disegani, dihormati, ditakuti oleh rakyatnya. Menunjukkan jika kekuasaan ada dalam dirinya dan mau tidak mau mahasiswa harus mengakui bahwa dalam sistem yang dibentuk oleh kampus mahasiswa yang butuh dosen, bukan dosen yang butuh mahasiswa. Setidaknya butuh nilai yang akan ditulis dalam selembar ijasah. Mahasiswa dewasa ini tak lagi butuh ilmu. Nilai lebih penting dari ilmu.


Sebenarnya sebagai mahasiswa yang baik aku tak terlalu mempermasalahkan sifat ataupun karakter dosen. Dari kecil aku sudah diajari bahwa manusia diciptakan Tuhan tidak dalam rupa sama dan seragam. Tapi lebih pada kapabilitasnya, apakah dosen sudah layak menjadi dosen? Jangan sampai mahasiswa menghabiskan waktunya bertahun – tahun dengan duduk manis dalam kelas mendengarkan kicauan – kicauan dosen yang absurd. Seperti halnya Dasamuka yang tak punya cukup kapabilitas sebagai dosen. Menutupi kekurangannya dengan strategi – strategi yang tak menguntungkan mahasiswanya. Pertanyaanku hanya satu dari sekian banyak tingkah polah Dasamuka; “Kok bisa ia jadi dosen?”

2 komentar:

Cheng Prudjung mengatakan...

hahaha si Dasamuka ini, dirubah saja jadi Dosamuka = mukanya penuh dosa.... wkwkwkwk
Kalau tidak salah, dosen ini juga menyebalkan di mataku.... (kalau yg dimaksud Sulismadi, brarti sy juga pasti bertanya, kok bisa ia jadi dosen??:)

hahaha. . .
Kayaknya harus ada sayembara blog yg temanya ttg Dasamuka,, yaopo rek????

Salam blogger kampus putih !!!

Lugas Wicaksono mengatakan...

ayo wes....ladub...

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;