Sabtu, 15 Desember 2012

Citra

“Kurang apa bapakmu ini? Sampai hati kau melempar tahi ke mukaku. Dari kecil mana pernah aku ajari dirimu keburukan?! Meskipun aku perokok tak pernah kubiarkan kau merokok sambil mengenakan seragam sekolah. Meskipun aku sedang mabuk tak ajak kau sembahyang. Apalagi membuahi anak gadis orang, tak pernah dalam hidupku kuajarkan itu padamu. Tahu begini aku potong kemaluanmu dari kecil biar kau tak bisa buat malu keluargamu ini!” 


“Iya gak Din? Din Udin?!” 

Pertanyaan minta persetujuan dari kawan membuyarkan lamunannya. 

‘Sedang mikirin apa kamu Din? Gak seru kamu kawan, kita lagi sibuk diskusi soal korupsi kamu malah sibuk sendiri dengan lamunanmu.” 

“Sibuk mikirin Negara lah, hahaha.” Udin mencoba menghangatkan kembali suasana 

Suasana meja 17 Warung Kopi Revolusi kembali serius sesekali santai dengan tiga orang aktivis mahasiswa asyik berdiskusi. 

Sejak test pack itu menunjukkan dua garis merah, ia lebih sering menghabiskan waktu dengan lamunan, mencoba menyembunyikan kegelisahan tak jarang pula terlihat. Tak ada seorang pun yang tahu apa yag sedang disembunyikannya termasuk teman terdekatnya sekalipun. Hanya dirinya, pacarnya dan Tuhan yang tahu. Bersembunyi bersama pacarnya di rumah kontrakan kecil seharga lima juta rupiah per tahun di pemukiman perkotaan jauh dari kampus yang hanya mereka tinggali berdua sejak usia kehamilan dua bulan. Si pacar? Perempuan manis juga Aktivis mahasiswa yang rajin meneriakkan kesetaraan gender pada akhirnya dihamili sebelum dinikahi oleh aktivis mahasiswa juga yang terhitung masih idealis dan gemar berteriak tentang keadilan di negeri ini di jalan-jalan kalau perlu. Bahkan yang membuatnya terpukul adalah teriakan anti free sex yang kini dijilati sendiri. 

Udin, yang tetangga tahu adalah anak baik-baik lulusan pondokan di kota tetangga yang dikenal religius, dan melanjutkan kuliah di salah satu Universitas Islam di Kota Pendidikan Malang. Patuh kepada orang tua dan hampir tidak pernah berulah di kampungnya. Sekali dia ketahuan mencuri mangga bersama enam orang temannya di halaman depan rumah Pak Bowo tetangga yang dikenal kaya tapi pelitnya minta ampun, itupun karena ia merasa tidak enak hati kalau tidak ikut karena nantinya akan dianggap teman yang tidak punya rasa solidaritas. 

Tetangga juga tahu setelah kuliah dan menetap di Malang Udin aktif di organisasi kemahasiswaan dan sering ikut demo setelah tiga kali dirinya masuk televisi sewaktu demo yang berujung anarkis. Mereka tidak tahu pada semester empat ia berkenalan dengan Juwita kawan satu organisasi beda kampus yang selanjutnya dijadikan pacarnya. Dunia percintaan dirasa lebih menarik dari dunia sosial politik yang sedang carut marut di negeri ini. Teriakannya di jalan ketika demo yang sering membuat risih telinga pejabat daerah berangsur berangsur mulai tenggelam dan berganti rintihan dan desahan di atas kasur busa kos-kosan teman tanpa ibu kos yang kamarnya berukuran tiga kali empat meter. Sekali ia lakukan dengan janji akan menjalin hubungan serius dengan pacaranya dan juga janji tidak akan mengulanginya lagi, cukup sekali. Ternyata bercumbu itu enak. Tanpa rencana diulanginya lagi, sekali dua kali tiga kali hingga berkali-kali, dikeluarkan di luar namun lama-lama dikeluarkan di dalam karena sudah terbiasa, hingga si pacar merasa mual-mual dan muntah. Sperma Udin ternyata cukup subur hingga untuk pertama kalinya ia mampu menghamili anak gadis orang. Prestasi ditengah miskinnya prestasi pemuda bangsa. 

Air mata penyesalan, ketakutan, kegelisahan, kemaluan, maaf salah ketik, rasa malu maksudnya tak terbendung mengalir dari mata sepasasang kekasih ini. Tak mampu memutar kembali waktu agar dapat mencegah permasalahan ini tidak menimpanya. 

Benar kata orang sok bijak, jaman sekarang ini adalah jaman edan. Kehamilan bukan malah disyukuri malah disesali. Bukan karena apa? Karena mereka belum menikah, karena yang orang tua mereka tahu bahwa anak mereka yang baik dan pintar sedang dikuliahkan untuk mendapatkan gelar sarjana. 

*** 

Udin ternyata bukan anak petani seperti ayahnya yang harus bekerja keras untuk membiayai kuliah anaknya. Ayahnya dikenal sebagai wakil rakyat tingkat daerah oleh tetangganya dan orang-orang yang mengenalnya. Banyak yang megenalnya, semakin banyak lagi ketika mencalonkan sebagai wakil rakyat. Cukup dengan modal hasil dari menjual sawah warisan kakek Udin ia memberanikan memasang gambar dirinya di pinggir-pinggir jalan dengan senyum mengembang di bibirnya dihiasi kumis tebal agar terkesan meskipun bertampang seram tapi tetap bersahaja. Disukai banyak orang karena sering bagi-bagi sembako, karena tetap tinggal di rumah warisan orang tuanya di desa dengan banyak renovasi dan tidak menempati rumah dinasya meskipun telah menjadi wakil rakyat, tidak menggunakan mobil dinasnya dan memilih menggunakan mobil pribadinya untuk bepergian, entah menjalankan tugas atau sekedar pelesir. Sebuah mobil Toyota Alphard yang mmepunyai nilai histois dan tentunya lebih mewah aro mobil dinasnya, dihadiahkan oleh pengusaha yang rajin menanamkan modal di kota sebagai tanda terimakasih telah membantu membuatkan undang-undang yang melindungi pengusaha kakap dan diketahui masyarakat yang memilihnya dalam pemilu silam. Saat diwawancari oleh wartawan dirinya menuturkan semua dilakukannya denga satu alasan, demi rakyat! Sesuai dengan apa yang disarankan oleh konsultan politiknya agar dicintai banyak rakyat. 

Meskipun keluarganya sudah tergolong hidup enak, Udin tak mau menikmatinya. Memilih menuntut ilmu di pondokan daripada di sekolah bertaraf Internasional. Selanjutnya kuliah di Universitas Islam dan menjadi aktivis meskipun ia sangat bisa kuliah di Australia dan setelah lulus ia bisa terjun di dunia poitik dwngan menjdi pejabat daerah tanpa capek-capek mencari pekerjaan karena ayahnya punya banyak koneksi. Kata hatinya tidak sesuai dengan apa yang selama ini dikerjakan oleh ayahnya dan profesinya, memilih memperjangkan aspirasi rakyat dengan cara yang lebih merakyat. Demo dengan meblokade jalan ketika ada isu yang merugikan rakyat dan sering membuat sopir angkot geram karena uang setorannya menurun gara-gara jalan macet. Ayahnya yang juga geram dengan ulah anaknya yang katanya susah diatur ini dan tak mengerti jalan pikirannya hanya bisa terdiam ketika ia memaksa anaknya ini mengikuti kemauannya dan dijawab 

“Sejak reformasi tahun 98 negara kita ini menganut paham demokrasi yah, tak boleh ada pemaksaan karena sudah merupakan pelanggaran hak asasi manusia.” 

Berani menentang saran ayahnya yang sebenarnya untuk kebaikannya dan keluarganya juga karena apa yang dilakukannya merasa lebih benar daripada kelakuan ayahnya. Tapi permasalahan kali ini yang menimpa membuatnya merasa bersalah kepada ayahnya. Sadar bahwa dirinya sebenarnya juga ikut terlibat dalam pelanggaran HAM, menindas perempuan yang mencintainya, membiarkan rakyat memberikan label anak haram kepada bayinya yang belakangan diketahui berjenis kelamin perempuan meskipun sebenarnya bukan anaknya yang haram. Tak mudah baginya membayangkan sikap ayahnya ketika ternyata bukan lawan politik yang mengganggu nama baik ayahnya yang telah susah payah dibangun bersama konsultan politik yang dibayar mahal. Ia berkata lembut kepada kekasihnya “Sayang, anak perempuan tanpa dosa ini kita panggil Citra saja ya.”

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;