Selasa, 21 Juli 2015

PENGGUNAAN UNSUR FIKSI DALAM BUKU JURNALISME SASTRAWI: ANTOLOGI LIPUTAN MENDALAM DAN MEMIKAT

Nurul Komariyah*) e-mail: telagakata@yahoo.com
Roekhan*)
Moch. Syahri*)
Universitas Negeri Malang, Jln. Semarang 5 Malang

ABSTRACT: This research is intended to (1) provide the use of fictional elements in the writing of news text, (2) describes the functions of the use fictional elements in the writing of news text. This research is literature review with approach of text analysis. Data is collected from units of speech cited from the texts reflecting fictional elements and their functions. The result of the research comprises two main issues as follows: (1) there are six fictional elements, namely event, flow, characters and characterizations, setting, point of view, and dialogue used by journalists to write news in many ways, and (2) there are three functions in the use of fictional elements in news text, namely to clarify and emphasize the topic, to strengthen the dramatic value in delivering the news, and to liven up the readers imagination. Keywords: fictional elements, literary journalism, report anthology.

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk (1) memerikan penggunaan unsur-unsur fiksi pada penulisan teks berita, (2) mendeskripsikan fungsi penggunaan unsur-unsur fiksi pada teks berita. Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka dengan pendekatan analisis teks. Data dikumpulkan dari unit-unit tuturan yang dikutip dari teks yang mencerminkan unsur fiksi dan fungsinya. Hasil penelitian adalah: (1) terdapat enam unsur fiksi yakni peristiwa, alur, tokoh penokohan, setting, sudut pandang dan dialog yang digunakan jurnalis untuk menulis berita dengan berbagai cara, (2) terdapat tiga fungsi penggunaan unsur fiksi dalam teks berita yaitu untuk memperjelas dan mempertegas topik, untuk menguatkan nilai dramatis pengisahan berita, dan untuk menghidupkan imajinasi pembaca.
Kata kunci: unsur fiksi, jurnalisme sastra, antologi liputan.


Berita merupakan suatu laporan yang berdasarkan fakta dan obyektifitas. Berita berbeda dengan opini yang bertumpu pada pendapat pribadi penulis. Berita juga berbeda dengan karya fiksi seperti novel atau cerpen yang di dalamnya memasukkan unsur imajinasi, sesuatu yang bukan fakta. Untuk membedakannya dengan karya fiksi, jurnalisme mematok standar baku bagi penyusunan berita yakni pedoman 5W dan 1H dengan pola piramida terbalik. Berita-berita model konvensional seperti straight news selalu ditampilkan dengan pola baku seperti itu. Penulisan berita yang lebih longgar dan tidak kaku dapat dilihat pada penulisan feature. Secara khusus feature adalah tulisan yang semata-mata berdasarkan daya pikat manusiawi (human interest) yang tidak terlalu terikat pada tata penulisan baku yang kaku seperti yang berlaku dalam berita lempang (Sumadiria, 2008:152).

Penulisan feature yang tidak kaku tersebut membuat penyajian berita menjadi lebih menghibur. Hal tersebut dikarenakan feature menyajikan tema yang lebih menekankan pada aspek kemanusiaan dan ditulis seperti layaknya sebuah cerita. Menurut Ishwara (2005:60) feature yang baik adalah karya seni yang kreatif, namun faktual. Feature bukan fiksi. Ia menggali suatu peristiwa atau situasi dan menata informasi ke dalam suatu cerita yang menarik dan logis. Feature akan membuat pembacanya tertawa atau terharu, geram atau menarik napas panjang.

Teknik penulisan berita dengan lebih longgar melalui feature yang membuat berita “bercerita” kepada pembaca kemudian berkembang ke arah yang lebih dalam lagi. Perkembangan tersebut terjadi pada pertengahan tahun 1960-an di Amerika. Feature telah menjembatani hadirnya sebuah genre baru dalam jurnalisme, yakni jurnalisme sastra. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Wolfe (dalam Kurnia, 2002:230) yang mengatakan bahwa feature mengandung nilai human interest dan warna cerita (colour story) yang sangat kaya, itulah sebabnya jurnalisme sastra memulainya lewat feature. Jurnalisme sastra menyajikan berita dengan gaya yang lebih naratif lagi. Tidak hanya itu, jurnalisme sastra juga mengadopsi gaya-gaya yang kerap dipakai dalam prosa fiksi dalam membingkai berita yang lebih lentur. Dalam penulisannya, jurnalisme sastra menggunakan dialog, karakter, setting, sudut pandang, bahkan gaya bahasa yang dileburkan dalam narasi.

Meski menggunakan unsur-unsur pembangun prosa fiksi, jurnalisme sastra tetaplah berita yang berpegang teguh pada fakta. Harsono, dkk (2005: xii) mengatakan bahwa jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Jika merah maka ditulis merah, dan jika hitam juga harus ditulis hitam.

Astraatmadja (dalam Kurnia, 2002: xxii) menuturkan, jurnalisme sastra pada awal perkembangannya di Amerika Serikat, hampir setengah abad yang silam, telah membebaskan media pers cetak dari stagnasi akibat persaingan yang ketat dengan siaran televisi yang lebih menarik dan lebih hidup. Jurnalisme kesastraan waktu itu memberikan pencerahan kepada para wartawan, dengan memperkenalkan gaya penulisan bertutur untuk reportase human interest yang sangat rinci. Suatu gaya peliputan dan pelaporan jurnalistik yang telah memperkaya jurnalisme. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa untuk bersaing dengan media elektronik yang mengandalkan kecepatan, media cetak harus bergerak dinamis dan melakukan inovasi, yakni dengan menyuguhkan berita yang mendalam dengan teknik yang tidak membosankan. Disinilah jurnalisme sastra turut andil dalam pergerakan inovasi tersebut, yakni menghadirkan teknik penulisan fiksi untuk menulis laporan berita yang lebih panjang, dalam, dan menyentuh.

Perkembangan jurnalisme sastra juga terjadi di Indonesia, meski tidak terlalu pesat. Di Indonesia, majalah berita Tempo adalah yang pertama menggunakan gaya penyajian sastra dalam penulisan jurnalisme. Pada tahun 1970-an, majalah ini tampil menyegarkan dunia jurnalistik di Indonesia (Kurnia, 2002:171). Salah satu wartawan Indonesia yang kerap memperkenalkan jurnalisme sastra adalah Andreas Harsono. Pada Maret 2001, Andreas dan rekan-rekannya di majalah Pantau mencoba menghadirkan berita-berita yang dikemas dengan teknik baru ini. Meski akhirnya harus terhenti karena kendala keuangan, tetapi setidaknya dari sana muncul sebuah buku yang menarik, berjudul Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, yang menjadi bahan dalam penelitian ini. Ada delapan penulis yang mengisi buku ini dari hasil reportase mereka masing-masing. Harsono, dkk (2005: xviii) mengatakan bahwa delapan cerita yang dimuat antologi ini adalah hasil kerja majalah Pantau antara 2001 dan 2004.

Ketertarikan peneliti untuk mengaji buku ini mengacu pada dua hal. Pertama, peneliti tertarik dengan genre jurnalisme sastra, dan ingin mempelajari serta mendalaminya secara lebih komprehensif. Ketertarikan peneliti disebabkan oleh kekaguman terhadap berita jurnalisme sastra yang bisa menggabungkan kaidah sastra dan elemen jurnalistik menjadi sebuah tulisan yang indah serta berkualitas. Fiksi yang berdasarkan imajinasi dan rekaan, sementara jurnalistik (berita) yang menjunjung tinggi fakta ternyata mampu dileburkan menjadi satu. Dengan tetap memegang teguh prinsip-prinsip seperti faktual, obyektifitas, dan akurasi, karya jurnalistik menjadi lebih enak dibaca dengan mengambil unsur-unsur pembangun prosa rekaan. Berita menjadi tidak membosankan sebab telah menjadi semacam karya seni yang mencerahkan pembacanya. Kedua, buku ini merupakan buku antologi liputan jurnalisme sastra yang pertama kali diterbitkan di Indonesia. Berisi delapan liputan dengan gaya sastra dari delapan penulis yang berbeda. Dari delapan karya ini, bisa dipelajari dan dianalisis bagaimana para penulisnya menggunakan teknik penulisan fiksi dalam reportase jurnalisme sastra. Tujuan penelitian adalah memerikan penggunaan unsur fiksi pada penulisan teks-teks berita dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, serta mendeskripsikan fungsi penggunaan unsur fiksi pada teks-teks berita dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka dengan pendekatan analisis teks. Artinya, penelitian ini menganalisis teks yang terkandung dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat dengan menggunakan sumber-sumber pustaka yang berkaitan dengan yang akan dianalisis. Penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan cara-cara yang dipakai jurnalis dalam mengemas unsur fiksi ke dalam liputannya dan apa fungsi penggunaan unsur fiksi tersebut pada berita, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Pendekatan dalam penelitian ini digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen, yang dalam hal ini dokumen yang dimaksud adalah buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Data dalam penelitian ini berupa paparan verbal bahasa atau idiografis. Artinya, data dalam penelitian ini adalah unit-unit tuturan yang dikutip dari teks yang mencerminkan unsur fiksi dan fungsinya yang diperoleh dari dialog, monolog, serta narasi dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Sumber data penelitian ini adalah buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, cetakan pertama yang diterbitkan oleh Yayasan Pantau pada Oktober, 2005. Antologi ini memuat delapan liputan dengan delapan penulis yang berbeda.

 Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tabel panduan studi dokumentasi. Prosedur pengumpulan data dilakukan peneliti dengan membaca secara kritis, teliti dan cermat teks-teks berita dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Pembacaan ini dilakukan secara berulang-ulang dengan melibatkan pengetahuan yang dimiliki oleh peneliti. Kegiatan ini bertujuan untuk memahami dan mendapatkan kembali unsur-unsur fiksi serta fungsinya dalam teks berita. Selanjutnya, peneliti membaca sekali lagi buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat yang menjadi sumber data untuk memberi tanda/kode bagian-bagian wacana yang diangkat menjadi korpus data pemakaian unsur fiksi untuk dianalisis lebih lanjut. Untuk membedakan setiap jenis data, digunakan tanda/kode yang berbeda. Analisis data dimulai dengan tahapan identifikasi, pengkodean, pengelompokan, interpretasi, dan penarikan kesimpulan. Pengecekan keabsahan data dilakukan peneliti dengan dua kegiatan, yaitu membaca teks-teks berita yang diteliti secara berulang-ulang untuk menemukan data yang akurat sesuai dengan masalah yang akan dikaji, dan mendiskusikan serta mengonsultasikan hasil atau temuan penelitian secara rutin kepada pembimbing.


HASIL PENELITIAN
Penggunaan Unsur Fiksi Dalam Penulisan Teks Berita

Penggambaran peristiwa yang digunakan jurnalis dalam penelitian ini ditemukan ada dua cara. Pertama, penggambaran peristiwa dengan cara mendeskripsikan adegan. Adegan tersusun dari fakta yang diperoleh jurnalis lewat wawancara dengan berbagai narasumber. Narasumber yang diwawancarai dapat berjumlah sangat banyak, sehingga beberapa dari narasumber tersebut diharap dapat mengungkapkan adegan yang terjadi dari suatu peristiwa. Cara kedua yang digunakan jurnalis untuk menggambarkan peristiwa adalah dengan menarasikan berbagai peristiwa yang terjadi dalam laporan yang diberitakannya. Cara narasi digunakan jurnalis dengan menyertakan unsur-unsur yang harus selalu ada dalam narasi seperti kejadian, urutan kejadian, setting, dan pelaku.

Untuk menggambarkan jalannya peristiwa dalam berita jurnalisme sastra, ada jurnalis yang memakai alur maju, alur mundur, dan ada pula yang memakai alur campuran. Alur maju digambarkan dengan cara pengurutan sebab-akibat. Penjabaran dari sebab ke akibat membuat alur tersusun secara kronologis, lurus dan urut dari peristiwa pertama hingga peristiwa terakhir. Itulah sebabnya dikatakan alur maju. Sebab dapat bertindak sebagai waktu lampau, sedangkan akibat sebagai waktu kini. Alur mundur (flashback) digambarkan dengan cara pengurutan akibat-sebab. Di bagian awal kisah berita, pembaca tidak diberi tahu apa penyebab yang menjadi pemicu dari konflik yang tengah diberitakan. Di bagian tengah hingga akhir berita, jurnalis kemudian membuat kisah mundur ke masa lalu untuk menceritakan sebab dari akibat yang telah diceritakan pada bagian awal berita. Sementara itu untuk alur campuran, digambarkan dengan cara membolak-balik susunan sebab dan akibat. Penggunaan alur campuran dalam teks berita jurnalisme sastra terlihat lebih fleksibel. Jurnalis dapat menyusun jalan cerita dari suatu berita dengan bebas. Rangkaian cerita dalam berita dapat meloncat-loncat, sesuai kemauan dan kreatifitas jurnalis. Hal ini berbeda dengan pemakaian alur maju yang hanya ditampilkan dengan cara sebab-akibat yang berarti masa lampau ke masa kini. Begitu pula dengan alur mundur yang dinyatakan dengan cara akibatsebab yang berarti masa kini ke masa lampau. Pada alur campuran, jurnalis dapat menata cerita dari beritanya dari urutan yang bisa dibolak-balik. Bisa dimulai dari akibat-sebabakibat yang berarti masa kini ke masa lampau kemudian kembali lagi ke masa kini, atau sesuai keinginannya.

Tokoh-tokoh dalam berita jurnalisme sastra ditampilkan dengan cara menyebut semua nama orang yang terlibat atau yang terkait dengan peristiwa yang tengah diberitakan. Oleh karena itu, dalam satu berita saja bisa terdapat puluhan tokoh. Tokoh-tokoh tersebut ada yang bertindak sebagai pelaku peristiwa, korban dari peristiwa, saksi mata dari peristiwa, maupun narasumber yang dianggap berkompeten untuk memberikan komentar dari peristiwa yang diangkat. Semua tokoh-tokoh tersebut dimasukkan dalam berita dan dituliskan namanya, meskipun tokoh tersebut hanya muncul satu kali saja. Penokohan yang digambarkan jurnalis ditempuh dengan dua cara, yakni secara eksposisi dan secara dramatik. Jurnalis mengungkapkan secara eksplisit watak tokoh dalam penokohan secara eksposisi dan mengungkapkannya secara implisit ketika menggambarkan penokohan secara dramatik.

Terdapat tiga macam setting yang digunakan jurnalis dalam teks-teks berita jurnalisme sastra, yakni setting tempat, setting waktu, dan setting suasana. Setting tempat dan setting suasana digunakan dengan cara mendeskripsikan suatu tempat atau lokasi dan suasana tertentu. Setting tempat dideskripsikan dengan melibatkan kesan indera berupa indera penglihatan dan indera penciuman. Setting suasana dideskripsikan dengan melibatkan kesan indera berupa indera penglihatan, indera penciuman, dan indera pendengaran. Sementara itu setting waktu digunakan dengan cara menyebutkan hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan jam terjadinya suatu peristiwa. Setting pada berita jurnalisme sastra berhubungan erat dengan penggunaan detail. Detail inilah yang memberikan kekuatan pada berita jurnalisme sastra sehingga laporan yang dihasilkan bisa sarat dengan informasi yang mendalam.

Sudut pandang yang digunakan jurnalis untuk mengisahkan beritanya ada tiga macam, yaitu sudut pandang orang pertama, sudut pandang orang ketiga, dan sudut pandang campuran. Sudut pandang orang pertama dengan cara menyebut “saya” sebagai tokoh utama. “Saya” merujuk pada diri si jurnalis sendiri. Jurnalis mengisahkan beritanya dari sudut penceritaannya sendiri. Hal ini tidak menjadi masalah karena jurnalis menjadi salah satu pelaku dalam peristiwa yang tengah diberitakan. Jurnalis menjadi orang yang mengikuti dan menjalani secara langsung peristiwa tersebut. Selain itu, penggunaan sudut pandang orang pertama ini tetap disertai berbagai bukti dan fakta. Salah satu bukti dan fakta tersebut diperoleh jurnalis dari wawancara dengan narasumber. Sudut pandang orang ketiga digunakan jurnalis dengan cara menyebut nama-nama tokoh dalam berita, yang diselingi variasi kata ganti “dia” dan “mereka” sebagai tokoh utama dan tokoh sampingan. Dalam sudut pandang orang ketiga ini, jurnalis sama sekali tidak memasukkan dirinya sebagai “saya” dalam peristiwa yang diberitakan. Sementara sudut pandang campuran digunakan dengan cara menggabungkan sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama. Jurnalis menyebut dirinya sebagai “saya”, dan menyebut tokoh-tokoh berita dengan nama serta kata ganti “dia”, “mereka” sebagai tokoh utama maupun tokoh tambahan. “Saya” muncul ketika menceritakan sesi wawancara, ketika menyatakan pengalaman yang berkaitan dengan peristiwa yang diberitakan, dan ketika memberikan analisis terhadap peristiwa.

Penggunaan dialog oleh jurnalis dalam penelitian ini ditemukan ada tiga cara. Pertama, penggunaan dialog dengan cara menampilkan perdebatan antartokoh. Perbedaan pendapat antara beberapa tokoh yang berujung pada sebuah perdebatan dituliskan jurnalis dalam bentuk dialog dan percakapan yang cukup panjang. Kedua, penggunaan dialog dengan cara menampilkan wawancara jurnalis dengan narasumber. Jurnalis mengutip dialog atau percakapan wawancaranya dengan beberapa narasumber. Ketiga, penggunaan dialog dengan cara menampilkan emosi para tokoh berita. Emosi beberapa tokoh berita yang mengumpat, berteriak, untuk mengungkapkan kekesalan atau kejengkelan juga dikutip jurnalis dalam sebuah dialog.

Fungsi Penggunaan Unsur Fiksi Dalam Penulisan Teks Berita

Terdapat tiga fungsi penggunaan unsur fiksi dalam penulisan teks berita yang ditemukan dalam penelitian ini. Fungsi pertama adalah untuk memperjelas dan mempertegas topik yang tengah diterangkan oleh jurnalis. Fungsi tersebut ada pada unsur fiksi berupa dialog. Topik utama yang tengah diceritakan jurnalis dalam beritanya semakin terlihat jelas dengan menampilkan dialog antara beberapa tokoh berita yang membuat adanya titik tekan pada topik utama.

Fungsi dari pemakaian unsur fiksi yang kedua adalah untuk menguatkan nilai dramatis pengisahan berita. Fungsi tersebut ada pada unsur fiksi berupa dialog. Nilai dramatis dihasilkan dari dialog beberapa tokoh yang diucapkan dengan intonasi tinggi dan membawa nuansa yang penuh dengan emosi sebagai klimaks. Hal ini membuat pengisahan berita menjadi dramatis dan berpotensi untuk membangkitkan emosi pembaca.

Fungsi dari pemakaian unsur fiksi yang ketiga adalah untuk menghidupkan imajinasi pembaca. Fungsi ini ada pada penggunaan unsur fiksi berupa pendeskripsian adegan dari suatu peristiwa, pendeskripsian setting tempat, dan pendeskripsian setting suasana. Deskripsi dapat membuat peristiwa, tempat, dan suasana yang sedang diberitakan oleh jurnalis menjadi lebih hidup karena dapat menyeret imajinasi pembaca. Pembaca dapat membayangkan dan merasakan sendiri segala hal yang digambarkan. Deskripsi yang melibatkan indera pendengaran dapat membuat pembaca seolah-olah mendengar sendiri bunyi dan suara yang digambarkan. Deskripsi yang melibatkan indera penciuman membuat pembaca seolah-olah dapat mencium bau atau aroma yang digambarkan. Sementara itu deskripsi yang melibatkan indera penglihatan membuat pembaca seolah-olah dapat melihat atau menyaksikan sendiri peristiwa yang diberitakan oleh jurnalis.

PEMBAHASAN
Adegan yang digunakan jurnalis untuk menggambarkan peristiwa tersusun dari rangkaian fakta yang diperoleh jurnalis dengan wawancara yang melibatkan cukup banyak narasumber. Kurnia (2002:46) mengatakan bahwa untuk melaporkan suatu peristiwa secara lengkap, kerja jurnalis harus lebih dari sekedar melaporkan fakta-fakta dan menyusunnya secara kronologis. Mereka harus melakukan pengamatan yang melebihi kerja reportase biasa. Mereka harus mencatat fakta-fakta di balik rangkaian adegan peristiwa-berita. Mungkin saja mereka perlu mewawancarai lebih dari selusin orang agar bisa menggali semua fakta yang ada.

Jurnalis menyampaikan scene demi scene adegan dari peristiwa yang tengah dilaporkan layaknya sebuah film. Scene tersebut berisi sejumlah adegan yang dideskripsikan sehingga fakta yang sedang dikisahkan benar-benar terasa dalam benak pembaca. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan Sudjiman (1991:91—92) bahwa dengan teknik adegan, cerita disajikan serupa dengan penyajian sebuah adegan di dalam drama atau film. Dengan demikian, pada pembaca timbul perasaan seolah-olah dia sangat dekat dengan tempat kejadian dan melihat langsung peristiwa yang disajikan. Supomo (2012) menjelaskan bahwa narasi adalah cerita yang didasarkan pada urut-urutan suatu kejadian atau peristiwa. Narasi dapat berbentuk narasi ekspositoris dan narasi imajinatif. Unsur-unsur penting dalam sebuah narasi adalah kejadian, tokoh, alur, serta setting yang terdiri atas setting waktu, tempat, dan suasana.

Penggambaran alur yang digunakan jurnalis dengan cara merangkai sebab dan akibat sesuai dengan penjelasan Adiwardoyo dan A. Hayati (1990:10), bahwa alur cerita dikatakan alur urutan (episodik, maju) apabila peristiwa-peristiwa yang ada disusun berdasarkan urutan sebab akibat, kronologis (sesuai dengan urutan waktu), tempat, dan hirarkis. Alur cerita dikatakan alur mundur (flashback) apabila peristiwa-peristiwa yang ada disusun berdasarkan akibat sebab, waktu kini ke waktu lampau. Alur cerita dikatakan alur campuran (eklektik) apabila peristiwa-peristiwa yang ada disusun secara campuran antara sebab akibat sebab, waktu kini ke waktu lampau, dan lampau ke waktu kini. Putra (2010:54) menambahkan bahwa di dalam alur terdapat kausalitas, yakni munculnya suatu peristiwa sebagai akibat dari sebab peristiwa yang lain.

Hadirnya tokoh dan karakter dalam berita jurnalisme sastra adalah hal yang sangat penting. Harsono, dkk (2005:xiv) mengutarakan, jurnalisme sastra meminta adanya karakter atau tokoh yang membantu mengikat cerita. Ada karakter utama dan ada karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Untuk menampilkan karakter, jurnalis menggunakan penokohan eksposisi secara eksplisit dan dramatik secara implisit. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Adiwardoyo dan A. Hayati (1990:11—12), bahwa cara penggambaran dikatakan eksposisi apabila pengarang menerangkan secara langsung sifat-sifat watak itu, baik yang bersifat batiniah maupun lahiriah. Pengarang menggambarkan secara langsung kondisi badannya, umurnya, kesukaannya, kesopanannya, dan sebagainya. Sudjiman (1991:26—27) menambahkan, dalam metode dramatik, watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Cakapan atau lakuan tokoh demikian pula pikiran tokoh yang dipaparkan oleh pengarang dapat menyiratkan sifat wataknya. Metode dramatik menyiratkan watak tokoh di dalam lakuan dan dialog si tokoh. Tidak jarang lakuan dan cakapannya ini mengungkapkan pula watak tokoh yang lain.

Setting dalam berita jurnalisme sastra berhubungan erat dengan detail. Jurnalis harus memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendapatkan detail yang bahkan terkesan remeh dan tidak penting. Sebab pada akhirnya nanti, detail akan dapat memperkaya laporannya. Kurnia (2002:76—77) menyatakan, perekaman detail-detail amatan jurnalis akan memberi kekuatan literer dalam pelaporan mereka. Jurnalis harus mencatat berbagai detail. Setiap detail laporan yang baik harus melambangkan setting komunitas sosial tertentu, sebuah tempat dideskripsikan dengan berbagai keterangan. Dalam menggunakan sudut pandang untuk berita yang dikisahkannya, jurnalis memiliki wewenang dan kebebasan untuk menentukan. Jurnalis bisa memilih dan menentukan akan menggunakan sudut pandang orang pertama, orang ketiga, atau sudut pandang campuran. Hal ini sesuai dengan penjelasan Kurnia (2002:82) bahwa amatan bisa hadir melalui sudut pandang penulis, lewat seorang “saya” atau “I”. Bisa juga melalui tokohtokoh kisahnya.

Penggunaan dialog dalam berita jurnalisme sastra berkaitan erat dengan wawancara jurnalis yang sangat intensif dengan narasumber. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kurnia (2002:55—57) bahwa melalui dialog, orang-orang di dalam news story dapat ditampilkan seasli orang-orang dalam kehidupan sehari-hari pembaca. Penulisan dialog didapat dengan upaya mengaji pikiran-pikiran narasumber lewat wawancara-wawancara intensif yang kemudian dilaporkan dengan berbagai nuansa emosinya dan hal lain yang berkaitan dengannya. Untuk mencapai itu, jurnalis melakukan investigasi. Mereka mempelajari referensi pemikiran dan pengalaman narasumber. Wawancara dilakukan secara mendalam, bila perlu berulang-ulang. Semua itu untuk memperoleh rekonstruksi pikiran dan emosi yang pas serta bahan-bahan lain yang diperlukan. Menurut Mencher, pedoman wawancara bagi jurnalis adalah mendengarkan dengan tekun semua yang dikatakan orang sambil mengamati situasinya. Kerja “menangkap” karakter dan melukiskan orang yang hendak dikisah-laporkan termasuk dalam kerja pengamatan dialog para tokoh.

Fungsi bahwa dialog dapat menjelaskan dan menegaskan topik disampaikan Kurnia (2002:58), yang mengatakan bahwa dialog dapat menjadi alat penjelas bagi topik yang tengah diterangkan. Nurgiyantoro (2005:311) menambahkan, gaya dialog dapat memberikan kesan realistis, sungguh-sungguh, dan memberi penekanan terhadap cerita atau kejadian yang dituturkan dengan gaya narasi. Penggunaan unsur dialog juga dapat memiliki fungsi untuk menguatkan nilai dramatis pengisahan berita. Molly Blair (dalam Putra, 2010:114) mengungkapkan bahwa dalam literary journalism terdapat fakta yang disampaikan secara sastrawi, yang sanggup menggugah emosi pembaca. Emosi adalah unsur penting dalam berita jurnalisme sastra. Kurnia (2002:58) mengungkapkan, dialog merupakan elemen penting bagi tampilan estetis, yang sekaligus menguatkan nilai dramatis pengisahan berita.

Fungsi lain dari penggunaan unsur fiksi adalah untuk menghidupkan imajinasi pembaca. Fungsi ini ada pada penggunaan unsur fiksi berupa pendeskripsian adegan dari suatu peristiwa, pendeskripsian setting tempat, dan pendeskripsian setting suasana. Deskripsi yang dipenuhi gambaran yang detail terhadap peristiwa, tempat, dan suasana membuat pembaca seolah-olah menyaksikan dan mengamati sendiri semua itu. Putra (2010:153) mengungkapkan, tanpa gambar pun, pembaca dapat membayangkan apa yang ditulis. Seakan-akan ia hadir di sana karena lukisannya hidup.

Untuk dapat menghidupkan imajinasi pembaca, jurnalis perlu memahami arti penting dari diksi. Di sini jurnalis harus mampu menjadi orang yang pandai meramu kata-kata. Diksi yang digunakan untuk membuat deskripsi yang melibatkan indera harus dapat membuat pembaca seolah-olah mendengar, melihat, dan merasa. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Kurnia (2002:43—44) bahwa kata-kata sebagai satuan unsur terkecil dalam wacana penulisan jurnalisme, mendapat perhatian besar dari para jurnalis baru. Kata-kata harus dipilih, dipikirkan, dan dipertimbangkan kemungkinan nilai “reduplikasi” imajinya dalam benak pembaca. Para jurnalis baru harus ketat berkutat dengan kata-kata seperti ketatnya para sastrawan memilih diksi untuk karya literer mereka. Kata-kata harus membuat pembaca merasa mendengar dan melihat. Laporan dibuat sedemikian rupa agar pembaca secara nyata dapat merasakan apa yang terjadi. Deskripsi yang dipenuhi dengan gambaran yang detail terhadap peristiwa, tempat, dan suasana membuat pembaca seolah-olah menyaksikan dan dapat mengamati sendiri semua gambaran tersebut. Kurnia (2002:202) kembali menegaskan, bahwa setting dapat membuat pembaca jadi merasa seperti berada dalam ruang observasi dan bisa secara langsung mengamati peristiwa yang sedang terjadi.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, disimpulkan bahwa keenam unsur fiksi yang digunakan dalam menulis teks-teks berita dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat adalah peristiwa atau persoalan, alur, tokoh dan penokohan, setting, sudut pandang, dan dialog. Peristiwa digunakan dengan dua cara, yaitu mendeskripsikan adegan dan menarasikan persoalan-persoalan yang diberitakan. Alur maju dirangkai dengan menampilkan sebab-akibat, alur mundur dirangkai dengan menampilkan akibat-sebab, dan alur campuran dengan cara membolak-balik urutan sebab dan akibat. Tokoh ditampilkan dengan cara menyebut semua nama orang yang terlibat atau yang terkait dengan peristiwa yang tengah diberitakan, ada yang bertindak sebagai pelaku, korban, saksi mata, maupun narasumber. Penokohan eksposisi dengan cara menyebutkan secara langsung watak tokoh, sementara penokohan dramatik dengan cara yang tidak langsung seperti misalnya dengan menampilkan tindakan atau perilaku tokoh. Setting tempat dan setting suasana digunakan dengan cara deskripsi yang melibatkan kesan indera seperti indera penglihatan dan indera penciuman. Sementara setting waktu digunakan dengan cara menyebutkan hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan jam terjadinya suatu peristiwa. Sudut pandang orang pertama digunakan dengan cara menyebut “saya” yang merujuk pada diri jurnalis sendiri sebagai tokoh utama yang dilengkapi dengan data dan fakta seperti wawancara. Sudut pandang orang ketiga digunakan dengan cara menyebut nama-nama tokoh yang ada dalam berita sebagai tokoh utama atau tokoh tambahan diselingi dengan kata ganti “dia” dan “mereka”. Sudut pandang campuran digunakan dengan cara menyebut nama-nama tokoh berita dan kata gantinya serta menyertakan jurnalis sebagai “saya” dalam pengisahan berita. “Saya” muncul ketika menceritakan sesi wawancara, ketika menyatakan pengalaman yang berkaitan dengan peristiwa yang diberitakan, dan ketika memberikan analisis terhadap peristiwa. Dialog digunakan dengan cara menampilkan perdebatan antartokoh, menampilkan wawancara jurnalis dengan narasumber, dan menampilkan emosi para tokoh berita.

Fungsi pemakaian unsur fiksi dalam penulisan teks berita ada tiga. Pertama, untuk memperjelas dan mempertegas topik yang tengah diterangkan oleh jurnalis. Fungsi tersebut ada pada unsur fiksi berupa dialog. Kedua, untuk menguatkan nilai dramatis pengisahan berita. Fungsi ini juga ada pada unsur fiksi berupa dialog. Ketiga, untuk menghidupkan imajinasi pembaca. Fungsi ini ada pada penggunaan unsur fiksi berupa pendeskripsian adegan dari suatu peristiwa, pendeskripsian setting tempat, dan pendeskripsian setting suasana.

SARAN

Berdasarkan simpulan pertama, maka peneliti memberikan saran pada pihak-pihak berikut. Saran bagi jurnalis, supaya dapat mengembangkan penulisan berita ber-genre jurnalisme sastra. Berita yang dikemas dengan teknik jurnalisme sastra dengan menggunakan unsur-unsur fiksi akan memperkaya dunia jurnalistik. Saran bagi pendidik sastra, diharapkan dapat memperkenalkan cara baru mengenai unsur-unsur karya sastra sehingga peserta didik dapat mengaplikasikan unsur-unsur fiksi tidak hanya untuk berkarya sastra, tetapi juga untuk karya lain, seperti penulisan berita. Saran bagi pendidik jurnalistik, agar bisa memperkenalkan jurnalisme sastra kepada peserta didik. Terlebih mengingat bahwa di negara luar seperti Amerika Serikat, genre ini sudah sangat bekembang. Berdasarkan simpulan kedua, maka peneliti memberikan saran pada pihak-pihak berikut. Saran bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan tambahan pengetahuan, terutama bahwa unsur-unsur fiksi tidak hanya memiliki fungsi dalam karya sastra, tetapi juga memiliki fungsi dalam teks berita. Saran bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian sejenis, diharapkan dapat menggunakan penelitian ini sebagai salah satu referensi penelitian yang disertai dengan pengembangan masalah dari sudut pandang yang berbeda. Sebagai contoh, dapat lebih menggali fungsi-fungsi dari penggunaan diksi atau gaya bahasa dalam penulisan teks berita jurnalisme sastra.

DAFTAR RUJUKAN

Adiwardoyo, Winarno dan A.Hayati. 1990. Latihan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh (YA 3).
Harsono, Andreas., Chik Rini., Agus Sopian., Linda Christanty., Coen Husain Pontoh., Alfian Hamzah., Eriyanto., Budi Setiyono. (Eds.). 2005. Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Jakarta: Yayasan Pantau Ishwara, Luwi. 2005.
Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas Kurnia, Septiawan Santana. 2002.
Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Nurgiyantoro, Burhan. 2005.
Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Putra, Masri Sareb. 2010.
Literary Journalism Jurnalistik Sastrawi. Jakarta: Salemba Humanika Sudjiman, Panuti. 1991.
Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya Sumadiria, A.S Haris. 2008.
Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media Supomo, Anita Ratih. 06 Januari 2012.

Jenis-jenis Wacana Bahasa Indonesia, (Online)(http://pendidikanmencerdaskanbangsa.blogspot.com/2012/01/jenis-jenis-wacanabahasa-indonesia.html), diakses 30 Maret 2012.

SUMBER : http://jurnal-online.um.ac.id/

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;