Sabtu, 30 Januari 2016

Krama Desa Sidatapa Pertahankan Bangunan Rumah Adat Bertembok Tanah Liat

Rumah-rumah berdinding tanah liat masih berdiri kokoh di Desa Sidatapa, Kecamatan Banjar Buleleng. Rumah adat bernama Bale Gajah Tumpang Salu itu dengan mudah dapat ditemui di pinggir jalan desa yang berada di ketinggian sekitar 500 meter dari permukaan laut itu. Meski berada di pinggir jalan, rumah-rumah itu justru menghadap membelakangi jalan.


Seorang pengendara sepeda motor melintas di depan rumaha adat Desa Sidatapa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Senin (18/1).



Satu di antaranya rumah yang dihuni Putu Wisnu (24) bersama istrinya, Komang Agus Mustika Dewi (17) serta neneknya, Made Ari (80). Rumah adat berukuran sekitar 7x15 meter ini terdiri dari tiga ruangan, antara lain, Jaba Jero, Jaba Tengah dan Jabahan.

Saat itu, Wisnu bersama Dewi sedang menganyam bambu untuk dijadikan sebuah sangkar ayam di Jaba Tengah, ruangan yang biasa digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Ruangan itu juga digunakannya untuk tidur bersama keluarganya.

“Di sini (Jaba Tengah) setiap hari kami buat kerajinan dari bambu, ada berupa sangkar ayam, tempat bebantenan, tempat makanan. Ini saja kerjaan kami, sudah jadi tradisi menganyam di desa kami, hampir semua warga desa menganyam sebagai pekerjaan,” ujar Wisnu.

Putu Wisnu menemani istrinya, Komang Agus Mustika Dewi yang membuat anyaman bambu di Jaba Tengah rumah adatnya Desa Sidatapa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Senin (18/1).


Wisnu menempati rumah itu sejak dari kecil bersama neneknya. Rumah itu menurutnya adalah peninggalan leluhurnya yang sudah ditempati sejak turun temurun.

Sementara itu, Jaba Jero merupakan ruangan yang berada di paling belakang rumah. Ruangan ini difungsikan sebagai tempat persembahyangan, menyimpan alat-alat upacara, busana adat dan pusaka, serta dapur untuk memasak.

Di Jaba Jero terdapat Sekororah atau tampul. Seko ini berupa panggung yang terbuat dari kayu dengan 12 tiang kayu atau disebut seko 12. Sekororah inilah yang digunakan untuk sembahyang.

Bahkan seko 12 ini mampu melindungi penghuni rumag dari bencana gempa bumi. Sebab tiang-tiang kayu ini mampu mencegah tembok rumah ambruk ke dalam, tetapi jika terjadi gunjangan keras, tembok akan ambruk ke luar.

Kelian Desa Pakraman Buleleng, Ketut Tarka menunjukkan tempat persembahyangan yang terbuat dari seko 12 di Jaba Jero rumah adat Desa Sidatapa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Senin (18/1).

Kekuatan bangunan rumah adat Sidatapa ini terbukti saat gempa mengguncang wilayah Buleleng Barat pada 1976 atau lebih dikenal dengan Gempa Seririt dengan ribuan korban jiwa. Gempa berkekuatan 6.2 Skala Richte (SR) ini kala itu mengguncang wilayah Kecamatan Seririt dan sekitarnya, termasuk Sidatapa. Meski banyak bangunan rumah yang roboh, tetapi tidak satupun warga Sidatapa yang menjadi korban tewas gempa itu.

“Sturktur tiangnya itu untuk penahan, temboknya kalau gempa akan ambruk ke luar. Waktu Gempa Seririt dulu, di sini juga ikut kena, banyak rumah yang roboh, tetapi tidak ada yang meninggal,” ujar Kelian Desa Pakraman Sidatapa, Ketut Tarka.

Sekororah ini terbuat dari kayu Jempinis yang diambil dari hutan. Sedangkan bagian struktur rumah lain bisa terbuat dari kayu apa saja, tetapi lebih banyak terbuat dari kayu jati.

Ia mengaku tidak ada referensi sejarah yang menyebutkan secara persis asal mula keberadaan rumah adat di desa yang telah berdiri sejak tahun 785 Isaka ini. Dari cerita penglingsir (leluhur), keberadaan rumah adat mulai berdiri sejak sekitar tahun 1.400 Isaka.

“Sejarah rumah adat ini tidak ada hitam di atas putihnya, tetapi kata penglingsir, adanya rumah adat ini karena perarem (perembugan) penglingsir-penglingsir dulu yang mengharuskan krama (warga) untuk membangun rumah adat,” katanya.

Tarka juga mengungkapkan alasa kenapa rumah adat membelakangi jalan. Ketika itu Bali dipimpin oleh Raja Mayadenawa. Raja ini sangat sakti tetapi berperilaku jahat. Ia tidak segan merusak Pura, melarang rakyatnya menyembah Tuhan atau Dewa, dan melarang segala bentuk ritual persembahyangan.

“Pada zaman Raja Mayadenawa siapa berani buat canang langsung dirampas, terpaksa masyarakat sini membuat rumah dengan tempat persembahyangan di dalam termasuk merajan, dan membelakangi jalan, supaya tidak dilihat raja ketika membuat upacara di dalam,” ungkapnya.

Dahulu rumah adat ini berdinding tanah liat dan beratap ilalang. Namun kini sudah banyak perubahan pada rumah adat ini. Kini sudah tidak ada rumah yang beratap ilalang, warga menggantinya dengan seng. Sebagian lain mengganti tembok tanah liat dengan batako. Meski telah banyak dimodifikasi, tetapi struktur ruangan rumah adat tetap berpedoman pada tiga ruangan utama itu.

“Sekarang sudah banyak krama yang memodifikasinya, ada yang mengganti tembok atap dan menambahkan kamar-kamar. Tetapi tetap harus ada tiga jaba. Karena perarem penglingsir nggak bisa dirubah, karena waktu dulu ada upacara sebelum kita mempunyai merajan, tiap ada upacara selalu di sana manusia yadnya, dewa yadnya, pitra yadnya di dalam rumah saja,” ucapnya.

Kelian Desa Pakraman Buleleng, Ketut Tarka bersama seorang warga di depan rumah adat Desa Sidatapa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Senin (18/1).

Kini seluruh rumah krama di Sidatapa menggunakan struktur rumah adat. Meskipun krama tersebut membangun rumah baru tetap harus mempertahankan struktur itu, karena telah diatur dalam awig-awig (peraturan adat).

“Ada dua krama di sini, krama ngarep dan krama sundulan. Krama ngarep itu yang sudah diajak mekarya di Pura Desa. Krama sundulan belum diajak megae (kerja) di Pura Desa kara belum penyucian diri. Sudah ada awig-awignya untuk rumah adat, kalau tidak buat ya ada sanksi sosialnya, tidak bisa sembahyang di Pura Desa,” pungkasnya. (gas)

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;