Selasa, 11 Oktober 2016

Apa Beda Wartawan dengan Buzzer?

Beberapa bulan jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 situasi semakin riuh oleh pendukung masing-masing pasangan calon (paslon) kepala daerah. Tidak saja Pilkada di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang mendapat porsi pemberitaan lebih dari media, tetapi di daerah-daerah lain para pendukung paslon tidak kalah riuh.

Obrolan tentang Pilkada tidak saja di warung kopi, pangkalan ojek, pasar atau terminal saja, tetapi di era kekinian pembahasan mengenai politik ini mulai merambah media sosial. Berbeda dengan sekian tahun ke belakang, media sosial layaknya facebook, twitter dan sejenisnya kini tidak saja dihiasi keluh kesah tentang kisah asmara anak muda.

Media massa kini mulai berinovasi, jika sebelumnya hanya menerbitkan koran saja, kini sudah hampir keseluruhan telah memiliki media online. Berita-berita di media online inilah yang banyak disebarkan di media sosial. Mereka yakin sebagian besar dari masyarakat yang memiliki handphone android membuka berita media online dari media sosial.

Berita-berita media online tentang politik semakin banyak bertebaran di media sosial. Ini menjadi menarik bagi pendukung paslon untuk membaca, mengamati perkembangan politik dan tidak lupa menuliskan pendapatnya di kolom komentar yang sudah tersedia di media sosial.

Namun cukup disayangkan budaya membaca masyarakat sangat rendah, tetapi sangat bersemangat untuk berkomentar layaknya pengamat politik. Seringkali dari mereka lebih suka membaca judulnya saja tanpa membaca isi beritanya, lalu menyimpulkan dan menuliskan komentar. Ini diperparah dengan harga akses internet yang tergolong masih mahal. Padahal tidak serta merta judul mewakili keseluruhan isi berita.

Semoga isi berita juga layak dibaca. Sebab penulis berita atau disebut wartawan berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) untuk menghasilkan berita yang baik. Tentu saja berita yang dihasilkan seorang wartawan harus memenuhi unsur berita, berimbang, tidak memihak dan tidak tendensius.

Kepatuhan wartawan pada KEJ ini sering membuat pendukung paslon merasa tidak puas ketika ingin paslon yang didukungnya tampil di media lebih dominan dibandingkan paslon yang menjadi lawannya. Beragam cara dilakukan agar paslonnya terlihat lebih baik di mata masyarakat, termasuk tidak menjadi masalah untuk menjatuhkan paslon lawan.

Satu caranya dengan membentuk opini di media sosial. Caranya dengan memposting tulisan-tulisan di media sosial untuk membentuk opini di masyarakat tentang paslon. Tujuannya adalah supaya paslon yang didukungnya layak pula didukung masyarakat yang membaca postingannya. Tidak jarang pula mereka tega menjatuhkan paslon lawan. Bahkan dengan tulisan-tulisan yang tidak beretika. Orang-orang seperti inilah yang kini disebut sebagai buzzer.

Para buzzer ini sekilas terlihat bekerja seperti wartawan. Tetapi mereka jauh berbeda dengan wartawan. Jika wartawan dalam menulis berita harus taat pada KEJ, maka buzzer bebas menulis sesuka hatinya. Seringkali pula mereka mengemas tulisannya di dalam sebuah blog sehingga terkemas layaknya sebuah media online.

Sebagian buzzer bekerja karena atas kecintaannya pada paslon tanpa ada mahar. Tetapi sebagian lain memang sengaja menjadi buzzer dengan bekerja membuat tulisan membela paslon supaya mendapatkan upah dari paslon tersebut dari hasil kerjanya. Bisa dikatakan postingan titipan untuk pembentukan opini.

Buzzer pada kenyataan justru diistimewakan oleh paslon atau pejabat untuk menulis berita sesat demi kepentingannya. Inilah yang sangat menyedihkan bagi wartawan. Di saat wartawan berusaha maksimal menulis sebuah berita yang baik untuk memberikan informasi akurat kepada para pembaca, buzzer justru sebaliknya.

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;