Sabtu, 12 November 2016

Berburu Liar Jalak Bali Sama Saja Menenggelamkan Pulau Bali

Kicauan burung Jalak Bali saling bersahutan di lingkungan Unit Pelaksana Khusus (UPK) Pembinaan Populasi Jalak Bali Balai Taman Nasional Bali Barat di Dusun Tegal Bunder, Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Jumat (11/11/2016). Kawasan seluas satu hektar yang sering disebut penangkaran Jalak Bali ini begitu teduh dengan rerimbunan pepohonan di sekeliling kandang-kandang burung.


Sejumlah burung Jalak Bali yang berada di penangkaran Unit Pelaksana Khusus (UPK) Pembinaan Populasi Jalak Bali Balai Taman Nasional Bali Barat di Dusun Tegal Bunder, Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Jumat (11/11/2016).

Penangkaran yang berdiri sejak 1996 ini kini penuh sesak dengan 200 ekor Jalak Bali sebagai penghuninya, dari 230 ekor yang dimiliki Balai TNBB. Jumlah ini melebihi kapasitas penangkaran yang seharusnya hanya untuk 150 ekor. Saking sesaknya, 30 ekor di antaranya dititipkan di satu hotel yang berada di Desa Sumberklampok.

Menurut Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) dan Penyelia TNBB, Nana Rukmana, jumlah Jalak Bali yang ditangkarkan kini meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Desember ini, akan ada 40 ekor Jalak Bali yang akan dilepasliarkan di hutan TNBB. Jumlah ini lebih besar dari 2015 lalu yang 30 ekor dilepasliarkan, dan 2014 sebanyak 10 ekor dilepasliarkan.

Populasi Jalak Bali beberapa kali mengalami masa suram, dan sempat nyaris punah. Pada 2006 lalu bahkan populasinya hanya tersisa enam ekor saja yang hidup di alam bebas. Beruntung kini secara perlahan populasinya semakin bertambah, dan kini ada sekitar 300 ekor yang hidup di alam liar.

Berkurangnya populasi di alam liar karena burung ini dalam rantai makanan berperan sebagai produsen yang selalu menjadi mangsa banyak hewan liar. Kemampuan terbangnya juga rendah, setiap 100 meter burung ini akan behenti, sehingga ruang edarnya mudah dibaca hewan-hewan pemangsa.

“Jalak Bali solidaritasnya tinggi begitu ada temannya yang sakit yang lain malah datang, ada anak biawak bukan malah menjauh malah ditonton padahal dia yang mau dimakan. Jalak bali justru mendekat sama pemangsa, ada ular malah mendekat sambil bercuit-cuit,” kata Nana.

Siang itu, seorang polisi hutan datang menemui Nana sembari membawa bangkai Jalak Bali yang dibungkus kresek. Menurut dia, burung itu mati tiga hari lalu saat sedang mengerami telurnya di hutan karena diserang burung Raja Udang. Burung Raja Udang merupakan kompetitor Jalak Bali karena makanan, tempat bersarangnya sama, sehingga harus saling serang untuk bersaing, tidak jarang Jalak Bali kalah dan mati.

Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) dan Penyelia TNBB, Nana Rukmana dan Kepala Seksi Wilayah 22 Balai TNNB, Hartatik memeriksa bangkai Jalak Bali yang mati di Unit Pelaksana Khusus (UPK) Pembinaan Populasi Jalak Bali Balai Taman Nasional Bali Barat di Dusun Tegal Bunder, Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Jumat (11/11).
Burung berjambul ini hidup di tiga ekosistem hutan, di antaranya hutan musim, hutan savana dan hutan mangrove dengan makanan buah-buahan dan serangga. Saat musim kemarau dan jarang ada buah-buahan di hutan musim, mereka akan terbang ke hutan savana untuk berburu serangga. Ketika haus mereka akan mencari air untuk minum di hutan mangrove.

Jalak Bali juga dikenal sebagai burung bangsawan yang manja dan malas. Burung ini selalu tidur lebih awal dan bangun lebih siang, di saat burung lain sudah berkicau pukul 04.00, mereka baru bangun dari tidurnya pukul 05.30. Burung ini juga sangat memperhatikan penampilannya dengan rajin bersolek, dalam sehari saja mereka bisa mandi sampai tiga kali. Disebut bangsawan, karena kulit sampai kaki burung ini berwarna biru, sehingga oleh peneliti banyak disebut burung ‘berdarah biru’.

Perkembang-biakan Jalak Bali juga lambat. Di alam liar, burung ini hanya dua kali bertelur yang maksimal hanya menghasilkan tiga telur dengan kemungkinan menetas satu sampai dua telur saja. Namun berbeda dengan Jalak Bali dari penangkaran komersil, burung ini dalam setahun bisa bertelur sampai delapan kali, tetapi indukan akan cepat mati, dan daya tahan tubuh lebih lemah.

Di penangkaran Balai TNBB, Jalak Bali ditangkarkan secara alami tanpa ada campur tangan perawat supaya ketika dilepasliarkan dapat bertahan. Jalak Bali di penangkaran ini maksimal hanya diperbolehkan bertelur tiga kali saja dalam setahun.

“Kalau di sini mulai dari pengeraman, penetasan, sampai pembesaran anak pun dilakukan oleh indukannya, sampai anak itu mandiri, mereka baru bisa makan baru kita lakukan penyapihan, karena kalau tidak disapih nanti induknya justru jadi galak akan birahi lagi dan mengusir anaknya,” ujarnya.

Layaknya manusia, Jalak Bali juga tidak bisa kawin sedarah. Perkawinan sedarah akan membuat anakan tidak tumbuh normal dan cepat mati. Nana pernah mencoba mengkawinkan anak dengan ibu, hasilnya, anak dari perkawinan itu mati tidak lebih dari satu tahun karena daya tahan tubuhnya lemah.

“Kita pakai sistem pencatatan silsilah, di sini kan pakai cincin, semisal TNBB 10 induknya nomer berapa sama nomer berapa, kemudian kita pasangkan sama TNBB 100, antara 10 dengan 100 kalau dikawinkan kira-kira kkerabatannya dekat apa jauh, nanti kita lihat lagi, kalau jauh masih bisa,” tuturnya.

Burung ini juga banyak menjadi incaran para pemburu liar karena nilai jualnya yang cukup tinggi. Beberapa tahun ke belakang, marak pemburu liar yang menangkap burung ini untuk dijual secara ilegal, tetapi kini jumlahnya semakin menurun.

“Dulu kalau sama masyarakat di Sumberklampok sini kita tabu sekali untuk bicara Jalak Bali, banyak yang suka berburu liar waktu itu. Tapi perlahan kita dekati, dan sekarang sudah ada yang mau untuk menangkarkan,” ungkapnya.

Satu upaya Balai TNBB untuk mengurangi perburuan liar adalah dengan melibatkan masyarakat untuk turut menangkarkan burung ini. Di Desa Sumberklampok kini setidaknya ada 17 orang penangkar dengan populasi Jalak Bali mencapai 150 ekor. Mereka mendapatkan sertifikat kepemilikan dan dapat pula menjualnya karena juga memiliki sertifikat penjualan. Harga satu ekor Jalak Bali kini masih mencapai Rp 8-13 juta.

“Kami sekarang sedang berupaya untuk menurunkan nilai jualnya, salah satunya dengan memperbanyak populasinya, melibatkan banyak masyarakat untuk penangkaran, sehingga tidak ada lagi yang berburu secara liar,” ungkapnya. 

Ia berharap peran serta masyarakat untuk turut melestarikan Jalak Bali. Masyarakat diharapkan tidak lagi berburu burung cantik ini, dan turut serta menangkarkannya. Ia meyakini masyarakat Bali masih mempercayai jika Jalak Bali punah, maka Pulau Bali akan tenggelam.

“Karena itu kita tidak ingin Bali ini tenggelam, mari kita sama-sama selamatkan Jalak Bali. Kalau ada yang bebrburu liar Jalak Bali, dia sama saja sengaja menenggelamkan Bali. Saya berharap nanti masyarakat suatu saat bisa ikut melepasliarkan,” pungkasnya. (gas)


Berita ini sudah pernah dimuat di Harian Tribun Bali edisi Sabtu 12 November 2016.

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;