Senin, 28 November 2016

Apa Kabar Korban Penggusuran dan Pembakaran di Danau Tamblingan?

Nengah Semen (62), seorang korban penggusuran Danau Tamblingan kini tinggal menumpang di rumah anaknya di Banjar Dinas Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng. Meski sudah lebih dari setahun berlalu, peristiwa penggusuran disertai pembakaran pasa 25 April 2015 lalu itu tidak akan pernah ia bisa lupakan.

Siang itu, ia melakukan aktivitas kesehariannya memberi makan kambing di kandang depan rumah anaknya. Kayu-kayu bekas kusen jendela, pintu dan beberapa tiang penyangga rumah itu tertumpuk rapi di satu sudut tempat parkir sepeda motor yang berada di depan kandang.

Menurut dia, kayu-kayu itu bekas bangunan pondoknya di pinggir danau yang digusur. Ia sengaja masih menyimpan kayu-kayu itu untuk mengingatkan peristiwa penggusuran tersebut yang dilakukan dengan kejam.

“Saya berani bilang itu peristiwa penggusuran terkejam di Indonesia. Pagi itu saya kemas pakaian saya dan barang di luar pondok untuk saya bawa, tapi ternyata dimasukkan lagi ke dalam pondok, dibakar bersama pondok saya,” ujarnya, Jumat (25/11/2016).

Nengah Semen menunjukkan kayu-kayu bekas rumahnya yang digusur di pinggir Danau Tamblingan di rumah anaknya Banjar Dinas Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar Buleleng, Jumat (25/11/2016).


“Beberapa hari lalu, anak saya mau jadikan kayu-kayu itu sebagai kayu bakar, tapi gak saya kasih. Saya bilang selama saya masih hidup, biarkan kayu itu tetap ada. Saya sudah maafkan, tapi saya tidak bisa melupakan. Semoga semuanya panjang umur, baik yang digusur maupun yang menggusur,” kataya.

Di atas rumah yang ditempati Semen, sebuah rumah kecil sederhana berdinding triplek beralaskan tanah berdiri di tanah perbukitan itu. Rumah itu ditinggali seorang diri oleh Wayan Sinten (70), tetapi siang itu nenek ini tidak ada di rumah.

Sinten adalah ibu dari Komang Pariadi (42) yang juga sama-sama menjadi korban penggusuran. Nenek ini memilih tinggal sendiri karena lebih suka ketenangan. Sementara Pariadi bersama istri dan tiga anaknya tinggal di pondok sekitar 100 meter dari pondok Sinten. Pondok yang ditempati Pariadi berdiri atas tanah milik temannya, dan dibangun dengan swadaya oleh orang-orang yang masih peduli dengannya.

Pariadi, Semen dan Sinten adalah bagian dari 22 kepala keluarga (KK) korban penggusuran dari rumahnya di pinggir danau. Ketika itu ratusan orang berpakaian adat dengan mengatasnamakan Catur Desa Adat Tamblingan menggusur dan membakar rumah-rumah mereka. Alasannya karena lahan seluas 2,7 hektar itu akan dijadikan kawasan suci dan kawasan suci. Mengingat lahan itu merupakan lahan pelabapura yang dikelola Catur Desa Adat Dalem Tamblingan dan lahan enclave hutan konservasi milik BKSDA.

Bocah 4 Tahun Pobia Udeng

Penggusuran ini menyisakan trauman yang mendalam bagi para korbannya, termasuk Pariadi. Bahkan anak ketiganya, Komang Tri Samanta (4) kini masih takut bertemu orang-orang yang mengenakan udeng.

“Anak saya takut kalau bertemu orang yang pakai udeng, ada trauma, tapi kalau udeng putih tidak, kalau sudah udeng hitam dia takut sekali, masih ingat kejadian pembakaran dulu,” ucapnya.

Pariadi menyesalkan proses penggusuran yang anarkis tanpa ada solusi. “Semua punya saya dibakar lho waktu itu, ada saya rugi sekitar Rp 40 juta, dua kambing saya juga mati, ada yang kakinya dipatahkan,” katanya.

Bupati Buleleng, Putu Agus Suardnyana ketika itu menjanjikan tanah leluhurnya seluas 15 are di Desa Munduk untuk ditempati korban penggusuran. Namun sampai kini tidak ada yang mengetahui pasti dimana lokasi tanah tersebut.

“Dia (bupati) kan ngomongnya di media mau kasih kami tanah macam-macam, tapi gak ada ngomong ke kami, lokasi tanahnya juga tidak ada yang tahu. Saya tidak akan menuntut itu kalau tidak ada, tapi rumah saya yang dibakar itu kan aset saya, tidak ada ganti rugi juga untuk itu,” katanya.

Kini dari 22 KK, 11 KK korban penggusuran masih tinggal di tanah dan rumah yang masih menumpang. Mereka bisa saja diminta pindah sewaktu-waktu oleh pemilik tanahnya. Para korban penggusuran juga mendapatkan perlakuan diskriminatif dari aparat desa. Mereka mengaku kesulitan untuk mengurus akta perkawinan maupun kelahiran.

“Akta itu kan ada tandatangan kepala desa dan kelian adatnya, kalau pakai bendesanya di sini tidak ditandatangani oleh kepala desanya, kita kalau gak ada akta perkwainan gak bisa ngurus akta kelahiran. Perbekel gak mau tandatangan, karena itu sudah instruksi dari atasan, ya bupatinya,” tuturnya.

Namun Perbekel Munduk, Nyoman Niriasa membantah jika pihaknya tidak melayani pengurusan akta korban penggusuran. Hanya saja memang ada polemik di desa adat, dimana desa adat Tamblingan ingin berdiri sendiri tetapi masih belum ada pengakuan.

“Kalau ada berurusan dengan dinas siapapun akan kami layani, tidak ada masalah adat mungkin, kalau masalah perkawinan, kalau KK, KTP, akta tidak ada kami mempersulit. Ada polemik adat, kecuali masalah adat karena adatnya mau berdiri sendiri tetapi kan belum sah. Kalau pakai akta perkawinan, pakai tandatangan adat tamblingan tidak bisa, tidak diakui,” katanya.

Komang Pariadi bersama anaknya, Komang Tri Samanta menunjukkan rumah sederhana yang ditempati Sinten di Banjar Dinas Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar Buleleng, Jumat (25/11/2016).


Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Buleleng, Gede Komang mengatakan, usai penggusuran 25 April 2015 lalu pihaknya sudah memberikan bantuan darurat berupa makanan dan sembako kepada 22 KK korban penggusuran sebanyak satu kali. Selanjutnya dilakukan verifikasi korban penggusuran untuk mengetahui korban yang layak mendapatkan bantuan.

Dari verifikasi itu diketahui ada delapan KK yang tidak memiliki rumah dan tanah, dan satu KK yang memiliki tanah tetapi tidak memiliki rumah. Sementara sisanya 13 KK telah memiliki rumah dan tanah.

Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana menurutnya telah menyiapkan tanah leluhurnya seluas 12 are di Banjar Beji, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng untuk dihibahkan kepada sembilan KK korban penggusuran yang layak dibantu tersebut. Di atas tanah itu Dinsos Buleleng akan membangun rumah-rumah dari dana CSR.

Namun ketika itu tawaran dari Pemkab Buleleng mendapat penolakan dari warga korban penggusuran. Mereka tidak ingin hanya sembilan KK saja yang dapat bantuan, tetapi harus 22 KK korban harus seluruhnya mendapatkan bantuan.

Sementara Dinsos tidak bisa membantu 22 KK tersebut secara keseluruhan dengan alasan terbentur regulasi. Menurutnya pemerintah dilarang membantu warganya yang dianggap sudah mampu secara ekonomi.

“Mereka tetap ngotot harus sama, biar sama rata sama rasa dan sama-sama menikmati bantuan pemerintah. Yang punya rumah tidak bisa, karena nanti ketika ada pemeriksaan dari tim pengawasan akan menjadi temuan ketika ada temuan dinas teknis yang akan bertanggung jawab, daripada nanti saya terbentur persoalan hukum lebih baik tetap berjalan di atas rambu-rambu yang ada,” ujar Gede Komang.

Meski begitu, kini Dinsos Buleleng tetap menunggu kesediaan sembilan KK itu untuk menempati tanah seluas 12 are yang telah disiapkan.

Sebenarnya sudah disiapkan pembangunan rumah, tetapi sampai sekarang perbekel belum ada memfasiltasi soal ini. Jika warga sudah siap untuk menempatinya, maka akan segera dibangun rumah di atas lahan tersebut.

“Saya terus menunggu sampai sekarang ini, saya terus monitor melalui perbekel tapi tidak ada perkembangan lebih lanjut sehingga saya tidak mengambil langkah-langkah, tetapi kalau sudah siap mereka dibangun rumahnya, tentu kami akan mengambil langkah dan mengukur lahan di Munduk. Sesuai dengan penjelasan pak bupati tanah itu akan dihibahkan, itu sudah menjadi milik warga yang menempatinya,” katanya. (gas)

Sarimin Terancam Tergusur Lagi

Dua cucu Nyoman Sarimin (60) tidur-tiduran di atas kasur busa tipis dalam gubuk sederhananya di Banjar Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng, Senin (11/4) siang. Gubuk itu berdinding triplek dan seng, beratapkan terpal dan tongkat kayu yang berfungsi sebagai tiang penyangga.

Luasnya sekitar 12x6 meter dengan menempati tanah pinjaman sementara dari orang lain. Sehari-hari nenek itu tinggal di dalam gubuk itu bersama dua anak serta menantunya dan empat cucunya. Ada dua kamar di dalamnya sebagai tempat untuk tidur.

Sarimin sudah setahun ini menempati gubuk sederhananya bersama keluarga sejak rumahnya di pinggir Danau Tamblingan digusur secara paksa pada 25 April 2015 lalu. Kini pemilik tanah yang ditempatinya akan meminta kembali tanah itu dan nenek renta itu bersama keluarganya masih belum tahun ke mana harus tinggal.

Siang itu, Sarimin yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan di Danau Tamblingan masih berjualan ikan keliling. Dua anak dan memantunya masih mencari ikan di danau.

Kini dari 22 kepala keluarga (KK) yang digusur, 13 KK di antaranya tinggal di Banjar Tamblingan secara terpisah. Sisanya tinggal secara berpencar. Mereka menumpang di atas tanah milik teman dan orang lain.

Komang Pariadi (39) yang juga korban penggusuran tingal 100 meter dari gubuk yang ditempati Sarimin. Ia tinggal bersama istrinya, Luh Riami (38) dan tiga anaknya, Desy Natalia (11), Kadek Ariananta (6), dan Komang Tri Samanta (3).

Pariadi lebih beruntung dari Sarimin karena masih bisa membangun rumah semi permanen di atas tanah temannya seluas dua are. Kini ia sehari-hari bekerja sebagai nelayan dan pemandu wisata di danau. Hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ia beternak kambing juga untuk menambah pendapatan keluarganya.

“Saya waktu digusur masih belum berkemas barang-barang karena masih belum tahu harus tinggal di mana, beruntung malamnya ada teman yang mengajak saya dan keluarganya tinggal di rumahnya, dia juga yang memberi motivasi kepada saya,” ujar Pariadi.

Usai lima bulan menumpang serumah dengan temannya, ia merasa tidak enak hati dan memutuskan untuk membangun rumah sendiri semi permanen di atas tanah milik temannya itu. Tanah seluas 15 are milik Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana yang sempat dijanjikan kepada warga korban penggusuran sampai kini tidak ada kejelasan.

“Sampai sekarang saya tidak tahu di mana tanahnya yang dijanjikan ke kami. Saya tidak menagih tanah itu, buat apa menagih janji yang tidak ada bentuknya,” katanya.

Kini ia berharap agar dapat beraktivitas seperti biasa di Danau Tamblingan tanpa ada pihak-pihak yang mengusiknya lagi. “Harapannya bisa tetap beraktivitas di situ (danau) dan diberi rasa aman beraktivitas biar tidak ada rasa was- was lagi karena cuma itu yang bisa dilakukan, cuma itu kemampuan kami,” ucapnya.

Saat itu, 22 KK yang tinggal di pinggir danau digusur dan rumahnya dibakar oleh Catur Desa Adat Daelm Tamblingan. Alasannya karena lahan seluas 2,7 hektar itu akan dijadikan kawasan suci dan kawasan suci. Mengingat lahan itu merupakan lahan pelabapura yang dikelola Catur Desa Adat Dalem Tamblingan dan lahan enclave hutan konservasi milik BKSDA.

Penggusuran itu juga masih menyisakan trauma bagi Pariadi. “Terus terang kalau ada yang bertanya soal peristiwa itu saya masih sedih,” katanya.

Sementara itu, lahan bekas penggusuran itu sampai kini masih tidak terawat. Lahan itu masih kosong dan hanya ditumbuhi tanaman-tanaman liar yang tidak terawat. (gas)


Nyoman Tiksa Stres, Gila dan Mati Usai Digusur

Penggusuran secara paksa 22 kepala keluarga (KK) yang tinggal di pinggir Danau Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali setahun lalu masih menyisakan trauma yang cukup mendalam bagi korban penggusuran. Bahkan ada yang sampai hilang ingatan dan akhirnya meninggal dunia. Korban penggusuran itu bernama Nyoman Tiksa (60).

Seorang korban penggusuran, Komang Pariadi (39) mengatakan, Tiksa yang sudah lanjut usia ketika itu harus dipaksa meninggalkan rumahnya. Padahal kakek itu masih belum memiliki tempat untuk tinggal sementara.

Rumah satu-satunya itu dirobohkan dan dibakar beserta barang-barang yang masih tersisa. Ternak ayamnya dipotong dan kambing-kambingnya dipatahkan kakinya. Beruntung ketika itu ada warga sekitar yang masih peduli terhadap korban penggusuran. Mereka merelakan tanah kosongnya untuk ditempati warga korban penggusuran itu, termasuk Tiksa.

“Dia meninggal karena drop terus hilang ingatan, sakit-sakitan dan sekitar tiga bulan lalu akhirnya meninggal dunia,” kata Pariadi, Rabu (13/4/2016).

Usai digusur, Tiksa tinggal menumpang di atas tanah milik orang lain di Banjar Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng.

“Dia setelah digusur sama sekali tidak punya lahan dan rumah, dia tinggal menumpang di tanah orang di Banjar Tamblingan,” ungkapnya. (*)

Korban Penggusuran Jadi Alat Politik 

Setahun berlalu, korban penggusuran di Danau Tamblingan tidak kunjung mendapatkan kejelasan. Mereka masih tinggal di gubuk-gubuk yang berdiri di atas lahan milik orang lain dan status jelas. Tidak ada solusi konkrit dari pemerintah. Bahkan pemerintah cenderung menjadikan mereka sebagai alat politik.

Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika terkesan memanfaatkan mereka untuk menekan Bupati Buleleng, Putu Agus Suaradnyana yang secara politik berbeda partai politik serta visi misi. Namun sampai kini tidak ada solusi atas nasib mereka.

Sebanyak 22 kepala keluarga (KK) anggota Kelompok Nelayan Astiti Amerta yang menjadi korban penggusuran paksa di pinggir Danau Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng sampai kini masih tinggal di pengungsian. Mereka kini tinggal dengan mendirikan gubuk atau rumah semi permanen di atas tanah milik orang lain di Desa Munduk.

Setahun lalu tepatnya 25 April 2015 mereka digusur sekelompok orang yang mengatasnamakan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan. Rumah semi permanen 22 KK korban di pinggir danau itu dirobohkan secara paksa dan dibakar. Alasannya karena tanah enclave BKSDA tersebut diklaim sebagai tanah pelabapura yang harus disucikan dan bebas dari pemukiman.

“Kelompok kami bulan April setahun lalu mengalami penggusuran paksa, rumah kami dibakar, binatang peliharaan kami dibantai, tempat memelihara ikan kami ditenggelamkan, fasiltas tangkap ikan kami seperti jaring dihancurkan dan dipotong-potong,” ujar seorang korban penggusuran, Ketut Mangku Saputra.

Ia mengaku ketika itu sebetulnya mereka tidak pernah menolak untuk direlokasi. Namun ketika itu warga korban penggusran masih menunggu kepastian dari Pemkab Buleleng sebelum direlokasi. Namun ketika masih belum ada solusi ke mana mereka harus tinggal setelah direlokasi, rumah-rumah mereka sudah dirobohkan.

“Padahal kami tidak pernah menolak untuk direlokasi dari tanah enclave Danau Tamblingan tersebut. Tapi kami masih menunggu kepastian dari pemerintah dan pada saat itu rumah kami dibakar di mana sampai sekarang kami mengungsi di tempat-tempat tinggal tetangga. Sudah setahun lalu kejadian tersebut dan kami masih tinggal di pengungsian karena belum ada kepastian dari pemerintah. Kami terus melakukan pencarian keadilan yang sampai saat ini belum kami dapatkan,” tuturnya.

Saputra berharap agar Pemkab Buleleng maupun Pemprov Bali memberikan lahan untuk tempat tinggal warga korban penggusuran. Tidak itu saja, ia juga meminta jaminan dari pemerintah agar korban penggusuran diberikan hak untuk tetap beraktivitas di danau sebagai nelayan maupun sebagai pemandu wisata.

“Kami mohon agar pencaharian kami sebagai nelayan untuk tetap melakukan aktivitas di danau baik menangkap ikan maupun memberikan pelayanan-pelayan pengunjung yang datang ke Danau Tamblingan karena itulah yang dapat kami lakukan untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak kami,” ucapnya.

Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana mengatakan, permasahan penggusuran warga di Danau Tamblingan menurutnya adalah permasalahan adat yang melibatkan Catur Desa Adata Dalem Tamblingan. Ia mengaku tidak dapat terlalu jauh untuk mencampuri permasalahan itu karena melibatkan adat.

Meski begitu, ia akan tetap membantu korban penggusran untuk mencarikan solusi. Mengingat korban penggusuran juga tercatat sebagai warga Buleleng yang dipimpinnya.

“Saya tentu sebagai Bupati Buleleng tidak akan intervensi wilayah adat tapi pada sisi kemanusiaan saya sebagai kepala daerah tentu harus mengupayakan hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Walaupun sampai sekarang masih belum ada titik temu,” katanya.

Pemkab Buleleng menurutnya telah memverifikasi 22 KK korban penggusuran tersebut untuk mengetahui mana yang layak mendapatkan bantuan dan tidak. Dari hasul verifikasi diketahui jika hanya sembilan KK yang tidak memiliki tanah dan rumah, dan itulah yang berhak untuk mendapatkan bantuan, sedangkan di luar itu tidak berhak mendapatkan bantuan.

Suradnyana setahun lalu memberikan solusi dengan berencana menghibahkan 15 are tanah pribadinya di Desa Munduk untuk diberikan kepada sembilan KK tersebut. Namun warga korban penggusuran ketika itu menolaknya.

“Bahkan karena usulan dari Desa Munduk yang saya dapatkan suma sembilan warga yang belum memiliki tempat tinggal sampai saya tawarakan memang agak jauh dari danau sekitar dua kilo tanah pribadi saya seluas 15 are, tapi tiba-tiba ini berubah,” katanya.

Menurut Suradnyana, warga ketika itu menolak dengan beralasan bahwa tidak saja sembilan KK yang diberikan bantuan, tetapi harus 22 KK korban penggusuran harus seluruhnya mendapatkan bantuan. Bahkan jika tidak bisa, warga memberikan solusi jika sebaiknya tanah pribadi 15 are di Desa Munduk agar dijual saja dan hasilnya berupa uang dibagi rata kepada seluruh korban.

“Nah tapi berikutnya 22 yang menuntut semua harus diberikan bila perlu tanah saya dijual dulu lalu dibagi, emang ini tanah kakeknya? Ini tanah saya pribadi,” tegasnya.

Gubernur Bali, Made Mangku Pastika menyesalkan penggusuran 22 Kepala Keluarga (KK) yang tingggal di pinggir Danau Tamblingan setahun lalu. Padahal antara korban penggusuran dan pelaku penggusuran sebenarnya masih bersaudara karena sama-sama krama Bali.

Penggusuran yang dilakukan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan itu menurutnya tidak lebih dari hanya sekadar faktor ekonomi saja. Konflik ini terjadi setelah banyak wisatawan yang mengenal dan mengunjungi Danau Tamblingan sebagai kawasan wisata yang eksotis.

Antara pelaku penggusuran dan korban penggusuran menurutnya saling bersaing dalam mencari pendapatan di danau tersebut. Korban penggusuran yang berprofesi sebagai nelayan dan pemandu wisata selama itu dianggap telah menguasai kawasan tersebut dengan mendirikan pemukiman.

Hal inilah yang menurutnya menimbulkan kecemburuan sosial kelompok lain yang tidak tinggal di sekitar danau. Berdalih untuk kepentingan adat, mereka berupaya menggusur warga yang tinggal di pinggir danau untuk dapat menguasai kawasan tersebut. “Saya minta Pak sekda untuk mengundang lagi, ini semua bersaudara zaman dahulu, kok sekarang semua bisa berantem hanya karena rebutan duit, malu kita. Begitu daerah itu mau menghasilkan duit baru jadi sumber masalah. Sebagai saudara ingat leluhurnya saya yakin leluhurnya ini satu, saya minta pak sekda biar tuntas ini jangan menyisakan persoalan. 10 tahun lalu tidak ada masalah di situ (Tamblingan), tetapi begitu banyak turis yang ke situ mulai ada masalah, marilah kita selesaikan. Pak sekda saya minta tanpa harus mengungkit-ngungkit apa solusi ke depan,” ujar Pastika.

Tanah Leluhur Putu Agus Suradnyana Seluas 15 Are Tidak Diketahui Keberadaannya

Sebanyak 22 Kepala Keluarga (KK) yang menjadi korban penggusuran disertai pembakaran rumah di kawasan Danau Tamblingan menolak rencana penyediaan lahan seluas 15 are oleh Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana. Hal ini diungkapkan ketika Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Buleleng mengunjungi mereka, Selasa (5/5).

Awalnya dari 22 KK yang menjadi korban penggusuran, Suradnyana hanya bersedia menyediakan lahannya untuk tujuh KK yang dianggap miskin, terakhir sembilan KK yang diperkenankan menempati lahan pribadinya itu. Kesembilan KK itu di antaranya, Ketut Siden, Gusti Kadek Suardika, Ketut Ridana, Gede Swetra, Nengah Semen, Nyoman Tiska, Komang Pariadi, Nyoman Sarimin dan Wayan Sinten.

Namun, mereka menolak. Mereka yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Astiti Amerta ini menginginkan pemberian bantuan bedah rumah secara merata. Mengingat selain dihancurkan, rumah mereka juga dibakar oleh sekumpulan warga yang mengatasnamakan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan. Sehingga tidak ada yang tersisa sedikitpun untuk dimanfaatkan kembali.

“Kalau tidak terbakar, masih ada sisa bangunan yang dimanfaatkan seperti kayu, seng atau batako. Sekarang semuanya sudah hancur dan tak ada yang dimanfaatkan lagi. Karena itu kami berharap pemerintah bisa memberikan kami bantuan bedah rumah secara merata. Dari awal kami sudah selalu bersama-sama dalam kelompok ini,” ujar seorang warga, Ketut Parisma.

Sementara bagi warga yang belum memiliki lahan, mereka menolak lahan seluas 14 are yang disediakan Suradnyana. Mereka hanya ingin diberikan bantuan bedah rumah saja bersama warga lain.

“Kalau soal lahan kami bersama-sama bisa mencarikan, yang penting kami ingin semua dapat bedah rumah biar adil. Sekarang saja saya masih menumpang di tetangga,” kata seorang warga lain, Nengah Semen.

Sementara itu, Gede Komang akan menyampaikan permintaan warga itu kepada Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana terlebih dahulu. "Sesuai aturan kan, kalau bantuan bedah rumah harus ada lahan, tapi ini sebagian tidak ada lahan, gimana mau berikan bantuan bedah rumah. Kami tidak ingin menyalahi aturan yang ada, karena apapun keputusan yang ada, itu yang bisa kami jalankan. Kami tidak mau keluar dari aturan. Untuk masalah warga mau mencari lahan sendiri, itu akan kami pertimbangkan nanti dan akan saya sampaikan pada atasan terlebih dahulu," ujar Gede Komang. (gas)

ORI Masuk Angin?

ORI Bali sempat mendesak Pemkab Buleleng untuk menuntaskan kasus penggusuran di Danau Tamblingan, terutama nasib korban penggusuran. Mereka meminta Pemkab untuk memberikan solusi atas nasib korban. Namun belakangan setelah bersikap keras, ORI menghilang bak ditelan bumi.

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Bali meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng agar segera merealisasikan janjinya untuk memberikan bantuan terhadap korban penggusuran rumah di kawasan Danau Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng. Sebelumnya pemkab berjanji akan memberikan bantuan tanah seluas 15 are kepada warga korban penggusuran.

Kepala ORI Perwakilan Bali, Umar Ibnu Alkhatab menyarankan, bantuan tanah seluas 15 are yang akan diberikan pemkab sebaiknya dibagikan merata kepada 22 Kepala Keluarga (KK) korban penggusuran. Tanpa harus mengklasifikasikan status aset korban.

Dikatakan, satu KK korban penggusuran menurutnya bisa mendapatkan bantuan masing-masing satu are tanah. Sementara kekurangannya, pemkab bisa menjalin kerjasama dengan melibatkan pihak ketiga.

“Kami sudah mengirimkan saran kepada pemda agar segera merealisasikan janjinya. Janjinya sebelumnya bupati akan menyediakan lahan bagi korban seluas 15 are, itu bisa dibagi ke 15 korban masing-masing satu are, sisanya tujuh korban bisa dicarikan pemda dengan melibatkan pihak ketiga,” ujar Alkhatab di Buleleng, Jumat (3/7).

Ia beralasan, warga korban penggusuran memiliki solidaritas yang tinggi terhadap sesama korban lainnya. Sehingga jika hanya beberapa saja yang diberikan bantuan, maka akan dapat menimbulkan rasa kecemburuan sosial di antara korban.

“Artinya jangan cuma dibagikan kepada sembilan korban saja. Mereka kan punya soliditas, kalau yang satu dapat dan yang lain tidak akan menimbulkan rasa keberatan antara sesama korban. Artinya nggak boleh ada pemilahan antara yang punya rumah dan punya tanah, tidak perlu menggunakan klasifikasi, langsung saja 15 are itu diberikan rata,” katanya.

Selain itu, ia juga meminta pemkab agar segera melakukan rekonsiliasi antara warga korban penggusuran dengan pelaku penggusuran. Menurutnya, korban penggusuran harus memiliki akses untuk melakukan aktivitas dalam mencari mata pencaharian di Danau Tamblingan.

“Segera pemda melakukan rekonsiliasi, harus ada sterelisasi berbasis kemanusiaan, yang mana pemda harus memberikan ruang kepada korban untuk melakukan aktivitas mata pencaharian di sana,” ucapnya.

Alkhatab menyebut, ada indikasi pembiaran oleh pemkab ketika warga penggusur yang mengatasnaman Catur Desa Adat Dalem Tamblingan melakukan penggusuran dengan cara brutal hingga berujung aksi pembakaran rumah korban. Meski begitu, ia tidak bisa menilai tindakan penggusuran yang dilakukan warga karena bukan kewenangannya.

“Kalau yang melakukan catur desa kami nggak punya kewenangan ke sana, itu bukan domain kami. Yang kami lihat adanya pembiaran dari aparatur pemerintahan terhadap pembongkaran itu. Sebetulnya aparatur bisa mencegah apapun alasannya, karena mereka punya kewenangan untuk mencegah. Nggak boleh gerombolan menghancurkan gerombolan,” tegasnya.

Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemkab Buleleng, I Made Supartawan ketika dikonfirmas terpisah mengatakan, sesuai dari hasil verifikasi yang dilakukan Dinas Sosial (Dinsos) Buleleng, hanya sembilan KK korban penggusuran yang berhak mendapatkan bantuan tanah seluas 15 are dari pemkab. Menurutnya, dalam memberikan bantuan, pemkab melakukannya berdasarkan faktor kemanusiaan. Meski begitu, pemkab akan melakukan kajian lebih lanjut terhadap saran ORI.

“Sesuai hasil verifikasi ada sembilan yang berhak dapat bantuan. Karena kami melakukannya berdasarkan kemanusiaan, hanya yang betul-betul mebutuhkan yang akan kami berikan. Kalau sarannya harus dibagi rata, tentu kami akan lakukan kajian lebih lanjut dan butuh waktu yang panjang lagi, yang jelas kami kan kaji dulu bersama Dinsos,” ujar Supartawan. (gas)

Penggusuran Terkejam?

Gusti Made Astiti (47) hanya bisa terdiam menyaksikan sejumlah warga Desa Pakraman Munduk dan Pecalang Catur Desa Adat Dalem Tamblingan mulai menghancurkan rumahnya yang berada di pinggir Danau Tambingan, Desa Munduk, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Sabtu (25/4/2015).

Belasan Rumah di Kawasan Danau Tamblingan Digusur dan Dibakar
Ia tak bisa berkata-kata ketika rumah semi permanen yang ditempatinya sejak kecil itu, sedikit demi sedikiti hancur menjadi puing-puing.


Sementara ratusan warga dan pecalang secara menggebu berusaha merobohkan setiap bangunan rumah yang berdiri di pinggir danau itu.

Mereka melakukan aksi tersebut mulai Sabtu siang, sekitar pukul 11.00 Wita.

Begitu mendapat komando dari Kelian Desa Pakraman Munduk, Jro Putu Ardana, warga serentak merobohkan rumah-rumah tersebut. Tak berhenti disitu, warga juga membakar rumah-rumah yang telah hancur berantakan.


Api dengan cepat melalap dan menghanguskan pemukiman ini.

Di sisi lain, ratusan personil polisi, TNI dan Satpol PP berjaga-jaga di sekitar pemukiman.

Astiti menuturkan, keluarganya bersama warga lain telah bermukim di kawasan itu sejak turun-temurun. Tepatnya sejak tahun 1963, ketika Gunung Agung meletus.

Keluarganya yang berasal dari Karangasem terpaksa mengungsi di kawasan itu untuk menghindari bencana alam terdahsyat di Bali kala itu.

Sampai pada akhirnya mereka mendirikan pemukiman di pinggi danau.

Pada tahun 1991, karena air danau meluap, mereka diberikan kesempatan oleh Bupati Buleleng, Ketut Ginantra untuk menempati tanah negara yang berada 500 meter dari tepi danau.

Ia mengaku, selama bermukim di pinggir danau, ia bekerja sebagai pemandu wisatawan yang berkunjung ke Danau Tamblingan.

Sehari rata-rata ia dua kali mengantarkan wisatawan berkeliling menyusuri danau dengan mendapatkan upah Rp 80 ribu.

Di dalam rumah berukuran 5x6 meter persegi itu, ia tinggal bersama mertuanya, Nyoman Sari Mertia (54) dan dua anaknya yang masih balita.

“Hasilnya juga pas-pasan untuk makan sehari-hari. Apalagi anak saya masih kecil-kecil. Sedangkan suami sudah tidak ada,” katanya.

Astiti mengungkapkan, ia tidak tahu harus tinggal di mana usai rumahnya dirobohkan. Menurutnya, tidak ada kompensasi yang didapatkan atas penggusuran itu.

“Saya enggak tahu habis ini harus tinggal di mana. Enggak ada kompensasi sepeser pun. Tabungan juga enggak ada, yang ada malah hutang,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga terancam kehilangan pekerjaan yang selama ini ditekuninya.

Ia berharap dapat diperkenankan menjalankan pekerjaan yang selama ini ditekuninya. Sekaligus lahan untuk dirinya bersama keluarga mendirikan rumah baru.

“Kalau saya terus terang ingin aktivitas di sini tetap, sama dikasih tempat. Diperlakukan layak sebagaimana manusia,” ucapnya lirih.

Kelian Desa Pakraman, Munduk Jro Putu Ardana mengatakan, pembongkaran bangunan rumah ini berdasarkan kesepakatan antara Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali dan Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana.

Menurutnya, mediasi sudah seringkali dilakukan sejak November 2014, sebelum pada akhirnya diputuskan untuk dilakukan pembongkaran.

Dikatakan, ada 50 Kepala Keluarga (KK) yang menempati pemukiman itu.

Terdiri dari 22 KK adalah bendega Catur Desa Adat Dalem Tamblingan yang memiliki tugas menjaga kelestarian 18 Pura di sekitar danau serta menjaga kebersihan Danau Tamblingan.

Sementara sisanya bagian dari anggota Kelompok Nelayan Astiti Amerta.

Dari proses mediasi yang telah dilakukan, sebagian warga telah memilih untuk pindah dengan sukarela. Termasuk 22 KK bendega Catur Desa Adat Dalem Tamblingan.

"Kini hanya tersisa 17 KK saja yang masih bertahan," ujarnya.

Ia beralasan, penggusuran pemukiman itu karena lahan seluas 2,7 hektare itu akan dijadikan kawasan suci dan kawasan konservasi.

Mengingat lahan itu merupakan lahan pelabapura yang dikelola Catur Desa Adat Dalem Tamblingan dan lahan enclave hutan konservasi milik BKSDA.

“Ini sudah berdasarkan kesepakatan bersama. Mediasi sudah kami lakukan sejak November tahun lalu. Beberapa hari ini juga sering kami lakukan mediasi, tapi deadlock. Kami sepakat tanggal 25 hari ini (kemarin, red) untuk melakukan pengosongan. Semua langkah sebelumnya sudah kami tempuh,” ujarnya.

Berdasarkan kesepakatan, penggusuran dilakukan oleh Catur Desa Adat Dalem Tamblingan. Sedangkan untuk hak warga yang tergusur, menjadi tanggung jawab Pemkab Buleleng.

Sementara itu, untuk pengelolaan Danau Tamblinganselanjutnya, pihaknya lebih memprioritaskan 22 KK bendega Catur Desa Adat Dalem Tamblingan.

“Bendega memiliki kedudukan khusus di sistem adat kita, menjaga hutan dan danau. Karena Desa Adat Munduk dan Catur Desa yang akan mengelola, yang akan kami berikan prioritas hanya bendega, karena mereka mengaturkan ngayah di 18 Pura, termasuk bertanggungjawab terhadap kebersihan, dan terhadap pemedek yang datang. Nanti kalau ada imbalan dari pariwisata, ya bendega harus diprioritaskan, karena selama ini mereka cukup terpinggirkan,” tegasnya.

Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana menegaskan, tidak akan menoleransi bangunan yang berdiri di atas lahan itu.

Ia beralasan akan mengembalikan fungsi kawasan itu sebagai kawasan suci dan kawasan konservasi.

Terlebih warga yang menempati pemukiman itu tidak memiliki kekuatan hukum, mengingat lahan itu statusnya milik negara.

Ia meminta kepada warga yang belum memiliki rumah baru untuk segera mencari lahan lain.

Bupati juga berjanji akan memberikan bantuan bedah rumah bagi warga yang telah memiliki lahan baru tetapi belum bisa membangun rumah.

“Yang punya rumah silakan kembali ke rumah. Yang punya lahan, kami akan upayakan bedah rumah. Aktivitas memancing, perahu pedau tetap jalan. Kalau yang ingin berjualan, kami siap memberikan bantuan gerobak untuk berjualan,” tegasnya.

Di sisi lain, ia akan segera menata kawasan Danau Tamblingansebagai kawasan wisata dan spiritual.

Ia optimistis setelah kawasan itu ditata akan lebih banyak wisatawan yang berkunjung ke Danau Tamblingan.

“Catur Desa menjadi community utuh dalam sisi pengembangan pariwisata dan culture yang berbeda. Harapan saya setelah di kawasan Danau Tamblingan tidak ada lagi pemukiman, kami akan lanjutkan kepada penataan tempat suci, kawasan wisata, dan aktivitas nelayannya. Tahun ini kami anggarkan hampir Rp 10 milliar untuk pembangunan infrastruktur di Catur Desa,” tandasnya.(*)

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;