Minggu, 25 Desember 2016

Yuk Jadi Jurnalis yang Adil Sejak dalam Pikiran

Pagi tadi saya sudah persiapkan untuk meliput Misa Natal, Minggu (25/12). Pukul 07.54 saya berangkat dari kos di Jalan Laksamana, Baktiseraga mengendarai sepeda motor menuju Gereja Katolik Santo Paulus di Jalan Kartini Singaraja yang sesuai jadwal mulai melaksanakan Misa Natal pukul 08.00. Saya memulai peliputan dengan mengambil foto, mendengarkan pastur, berbincang dengan jemaat, mengamati suasana untuk dijadikan beberapa angle berita.

Saya yang kebetulan dilahirkan sebagai seorang Muslim tidak hirau dengan Fatwa MUI yang menyatakan haram turut berpartisipasi dalam perayaan Natal. Sebagai seorang jurnalis, saya harus independen dan melepaskan seluruh identitas apapun yang melekat dalam diri saya selain identitas jurnalis. Agama saya saat menjalankan kerja jurnalistik adalah jurnalisme, seperti judul buku yang ditulis Andreas Harsono.


Sudah tiga tahun ini saya berprofesi sebagai jurnalis Tribun Bali, Kompas Gramedia. Sebagai seorang jurnalis sudah semestinya saya berlaku adil terhadap semua golongan. Selama tiga tahun ini pula saya telah meliput beragam tradisi maupun perayaan keagaman enam agama yang diakui di Indonesia. Saya pernah masuk Pura, Masjid, Gereja, Wihara dan Klenteng.

Bukan saya bermaksud lain, saya hanya berusaha memberikan porsi yang sama kepada semua golongan dalam peliputan, yang tentunya juga tetap memperhatikan nilai berita dalam setiap kegiatan. Mungkin saya memberikan porsi lebih pada agama Hindu karena mayoritas di Bali, yang mana mereka memiliki kegiatan lebih sering dibandingkan umat lain.

Saya sangat peka dengan beberapa kawan seprofesi yang lebih mengagungkan agama yang dianutnya. Beberapa di antara kawan saya, misalnya yang Muslim seakan enggan untuk meliput kegiatan keagamaan lain selain agama yang dianutnya. Tetapi begitu agamanya yang melaksanakan kegiatan, beberapa kawan saya itu begitu bersemangat untuk meliputnya, disadari atau tidak, porsi liputannya mendominasi.

Saya juga peka beberapa kawan saya tadi enggan meliput perayaan agama lain karena dilarang oleh MUI dengan alasan sesuai kitabnya. Bagi saya pemikiran seperti ini tidak tepat untuk seorang jurnalis. Pembaca koran dan portal, pemirsa televisi atau pendengar radio tidak saja semuanya seragam. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, termasuk latar belakang agama.

Apa jadinya ketika pemberitaan yang mereka konsumsi tidak adil? Bukan tidak mungkin mereka akan meninggalkan media yang jurnalisnya berlaku tidak adil. Tapi lebih dari itu masalahnya, jurnalis yang meliput secara tidak adil secara langsung juga sama saja berbuat diskriminasi, melanggar hak asasi manusia dan tentu saja jauh dari kata kredibel. Karena pada hakekatnya semua manusia di muka bumi ini memiliki hak yang sama, termasuk hak dalam porsi pemberitaan. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;