Jumat, 30 Desember 2016

Matinya Tiga Prajurit Rendahan

Sore tadi menjelang Magrib aku sebenarnya sedang bersantai menonton televisi bersama seorang teman sembari minum kopi dan merokok di kamar kos pinggiran Kota Singaraja. Tetapi telepon dari seorang kolega membuyarkan kesantaianku yang belum sampai satu jam setelah kuselesai menulis berita untuk hari ini.

Kolegaku tadi mengabarkan tentang tiga anggota tentara yang tewas tertimbun longsor di Dusun Dasong, Desa Pancasari, Buleleng. Ah malasnya aku karena lokasi yang cukup jauh, sekitar 40 kilometer dari Kota Singaraja tempatku bermukim atau 1,5 jam perjalanan melintasi jalan perbukitan yang curam. Apalagi malam-malam dengan hawa yang dingin.



Tetapi sebagai jurnalis adalah satu kewajiban meliput peristiwa yang memiliki nilai berita sangat tinggi itu. Meskipun dengan berat hari kuputuskan berangkat ke lokasi dengan seorang kolega. Karena kalau tidak berangkat aku akan ditegur keras oleh pihak kantor tempatku bekerja.

Berangkat dari kos aku berpikir kalau tiga anggota tentara itu tewas tertimbun longsor pada saat bergotong-royong membersihkan bekas longsoran demi kepentingan umum. Itu sudah biasa dan memang satu dari kewajiban mereka. Aku berusaha sesegara mungkin sampai ke lokasi agar cepat selesai kewajibanku. Kupacu sepeda motorku dengan cepat menembus dinginnya malam di perbukitan.

Sampai pula aku di Desa Pancasari. Kucari lokasi peristiwa itu dengan bertanya kepada sejumlah warga, seperti kebiasaanku mencari alamat saat liputan pada umumnya. Saat bertanya, ada warga mengatakan kalau sulit mendapatkan izin dari petugas untuk ke lokasi. Ah aku berpikir tidak soal karena aku jurnalis yang punya akses lebih. Paling juga di lokasi ada polisi, tentara atau petugas evakuasi. Warga lain saat kutanya di lokasi berbeda juga mempertanyakan izinku untuk mendatangi lokasi.

Setelah bertanya kesana kemari, kutemukan lokasinya ternyata sebuah vila yang berada di kaki perbukitan. Di lokasi kutemui belasan pria berpakaian loreng tanpa seorang pun berpakaian polisi. Pikiranku masih tetap seperti saat masih akan beranjak dari kos, tentara tewas tertimbun longsor saat gotong-royong.

Tetapi aku mulai menaruh curiga ketika pria berpakaian loreng yang beberapa di antaranya kukenal sebagai komandan tentara menutup diri. Mereka enggan berkomentar tentang peristiwa longsor dan mengatakan tidak terjadi apa-apa sembari memintaku untuk tidak menulis berita. Tetapi kujelaskan bahwa aku harus menulis beritanya dengan berbagai argumen.

Seorang komandan akhirnya memintaku bertanya kepada seorang berpakaian sipil. Kepadaku dia mengaku sebagai pemilik vila. Dia mengatakan peristiwa itu terjadi sore hari ketika sejumlah orang membangun senderan di belakang vila. Senderan itu dibangun untuk mencegah longsoran tanah yang sebelumnya sempat longsor empat hari lalu merembet dan melongsorkan bangunan vila.

Dia mengatakan jika tiga orang yang tertimbun itu adalah tukangnya yang didatangkan dari Jawa, bukan tentara meskipun saat ditemukan ketiganya berpakaian loreng lengkap dengan topinya. “Jangan karena tukangku berpakaian loreng lalu dianggap tentara,” begitu ucapnya.

Di akhir pertanyaan yang kuajukan, dia menegaskan bahwa dialah pemilik vila bukan yang lain. “Aku pemilik vila ini, pemiliknya aku bukan jenderal atau siapa itu gak benar,” tegasnya dengan nada tinggi.

Padahal aku tidak bertanya tentang pemilik vila yang pejabat tentara itu, seperti yang dikatakannya. Dari situ aku sudah sangat curiga ada yang tidak beres dengan kematian tiga tentara ini. Apalagi saat berusaha mengambil gambar suasana vila, seorang komandan memastikan bahwa tidak ada satupun gambar yang aku ambil berisi pria berpakaian loreng termasuk dirinya.

“Mana lihat foto kamu. Oh ya gak papa asal gak ada foto tentaranya,” begitu ucapnya.

Kolegaku tadi sampai merasa ketakutan kalau saja dimunirkan atau dicegat di tengah jalan yang gelap dan sepi sepanjang perjalanan dari lokasi sampai Singaraja. Saya tidak merasa demikian karena meyakini tentara tidak akan bertindak sebodoh itu.

Meskipun tidak menyuruh aku, tetapi gelagat mereka seakan memintaku untuk segera meninggalkan lokasi vila itu. Aku yang memahami dengan gelagat mereka segera turun dari perbukitan tempat berdirinya vila itu. Aku tiba di pemukiman warga dan bertanya-tanya mencari informasi. Dari warga yang takut namanya dimediakan aku akhirnya tahu jika pemilik vila itu adalah seorang pejabat tinggi tentara berpangkat jenderal yang kini menjadi orang nomor dua sebuah lembaga nasional kemiliteran di Jakarta.

Rupanya belasan tentara berpangkat rendah bekerja membangun senderan vila itu sejak sepekan lalu usai terjadi bencana banjir bandang di desa itu. Aku meyakini prajurit rendahan itu bekerja di vila milik jenderalnya itu atas perintah komandannya. Kalau sudah begitu, mereka yang hanya bawahan tidak bisa menolak.

Aku sedih. Bukan karena tugas jurnalistikku sempat dihalang-halangi, tetapi terpikirkan nasib ketiga tentara yang tewas itu, termasuk keluarga yang ditinggalkan. Mereka gugur bukan karena berjuang membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melainkan gugur karena membela kepentingan pribadi jenderalnya. Apakah tentara yang hanya disebut tukang bangunan ini akan mendapat gelar pahlawan? Bagaimana perasaan keluarga mendapati kenyataan ini? Apalagi kuyakini pihak keluarga mau tidak mau harus mengiklaskan kepergian tentara rendahan ini kalau tidak ingin buang tenaga percuma atau saja mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. (*)




0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;